oleh: M. Purna Dewansyah Saputra
Bahasa Indonesia dan Sumpah Pemuda
Pada tahun 1928-an, tepatnya 28 Oktober 1928 terjadi peristiwa yang paling penting dalam sejarah perkembangan bahasa Indonesia menuju kesempurnaanya. Pada tanggal, bulan dan tahun itu pemuda-pemudi Indonesia mengikrarkan janji dan sumpah mereka ingin menyatukan bangsa dan negara tercinta ini dalam satu bahasa, yakni bahasa Indonesia. Memberikan identitas dan jati diri bangsa dengan menjunjung bahasa persatuan, mewartakan kepada dunia bahwa Indonesia mampu memiliki bahasa sendiri tanpa memakai bahasa dari bangsa lain walaupun telah dijajah oleh beberapa bangsa penjajah. Peristiwa tersebut adalah Sumpah Pemuda. Sumpah para pemuda-pemudi Indonesia yang memiliki satu semangat untuk memerdekakan Indonesia.
Hampir 80 tahun telah berlalu sumpah itu diikrarkan oleh para pemuda-pemudi Indonesia yang memiliki semangat idealisme. Semangat untuk memerdekakan Indonesia dari belenggu penjajahan dan ketertindasan dari kolonial yang hampir tiga setengah abad telah menjajah dan menguras kekayaan Indonesia. Kita generasi muda sekarang beruntung karena memilki pemuda-pemudi di masa 20-an yang telah berani memanifestasikan dan menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, walaupun pada saat itu kita masih dalam keadaan terjajah oleh Belanda. Sumpah Pemuda mengikrarkan tiga hal yang paling sakral dalam sejarah bangsa Indonesia yaitu:
1. Kami bertumpah darah satu, Tanah Air Indonesia.
2. Kami berbangsa satu, Bangsa Indonesia.
3. Kami menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Sumpah Pemuda yang diikrarkan oleh pemuda-pemudi Indonesia ini memiliki kekuatan yang maha besar dalam proses pencapaian kemerdekaan. Penuh semangat demi mewujudkan cita-cita bangsa menjadi bangsa yang merdeka dan bebas dari belenggu ketertindasan. Apakah semangat dari Sumpah Pemuda tersebut masih membara, atau semakin lesu bila dibandingkan dengan usia manusia yang dikatakan sudah uzur?
Suatu hal yang menarik dari sumpah pemuda ini adalah, mengapa harus menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia, bukan menjunjung tinggi budaya satu, atau bersuku satu, atau bercita-cita satu, dan sebagainya. Hal ini adalah satu bukti betapa kuat pengaruh bahasa dalam proses pencarian jati diri sebuah bangsa. Seperti buku yang dikarang oleh Alif Danya Munsyi yang berjudul, Bahasa Menunjukkan Bangsa. Dari Judul buku tersebut jelas bahwa suatu bangsa yang kuat adalah bangsa yang menghargai bahasanya sendiri. Lalu, bagaimana dengan kondisi bahasa Indonesia sekarang? Untuk membahas pertanyaan tersebut, alangkah baik kita membahas terlebih dahulu sejarah perkembangan bahasa Indonesia hingga menjadi bahasa persatuan yang kita gunakan sekarang.
Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia
Sebagai bahasa nasional bangsa Indonesia, bahasa Indonesia mengalami tahap-tahap yang sangat penting dalam sejarah perkembangannya. Dimulai dari 1901, disusun ejaan resmi bahasa Melayu oleh Ch. Van Ophuysen dalam Kitab Logat Melayu sebagai cikal bakal bahasa Indonesia. Pada tahun 1928 bahasa Indonesia diikrarkan dalam Sumpah Pemuda sebagai bahasa persatuan. Tahun 1942 kedudukan Bahasa Indonesia semakin kokoh akibat kekalahan belanda terhadap Jepang yang secara otomatis bahasa Belanda tidak boleh dipergunakan lagi, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam situasi resmi. Tahun 1945 Bahasa Indonesia memperoleh kedudukannya yang lebih pasti sebagai bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa kesatuan dan bahasa negara. Kemudian, dengan penetapan pemakaian Ejaan yang Disempurnakan (EYD) oleh Presiden RI H.M Soeharto pada tanggal 16 Agustus tahun 1972, selangkah bahasa Indonesia maju menuju kesempurnaannya. (Lihat J.S Badudu.1985)
Pada uraian di atas telah disinggung Sumpah Pemuda sebagai satu diantara peristiwa penting dalam proses perkembangan bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional dan persatuan bangsa Indonesia. Melihat sejarah perkembangan bahasa Indonesia, bukanlah hal yang mudah untuk mewujudkan bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional yang kita gunakan sekarang. Penuh perjuangan dan penantian momen yang tepat untuk memberikan sebuah bukti Indonesia memiliki bahasa yang mampu memersatukan seluruh masyarakat Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Tidak banyak bangsa yang memiliki bahasa sendiri sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraanya. Sebagai contoh beberapa negara tetangga kita, Malaysia, Singapura, India, Filipina dan banyak lagi negara lainnya yang tidak memiliki bahasa kenegaraanya sendiri, mereka masih menggunakan bahasa dari bangsa yang pernah menjajah mereka. Kemudian, bagaimana dengan penggunaan bahasa persatuan ini yang telah berusia hampir satu abad di zaman yang katanya modern ini?
Kondisi Bahasa Indonesia? Cape’ deh….!
Televisi, radio, surat kabar, majalah, dan segala macam media elekronik maupun cetak merupakan sarana yang paling besar pengaruhnya dalam proses perkembangan bahasa Indonesia. Televisi misalnya, diantara beberapa perusahaan televisi swasta yang ada di Indonesia, adakah yang secara khusus membahas dan membina penggunaan bahasa Indonesia di masyarakat? Jikapun ada, sudah pasti acara ini akan sangat jauh dari minat penonton bila dibandingkan dengan reality show yang ada di stasiun televisi yang lain. Begitu juga dengan iklan komersil yang sering tampil di layar televisi, hampir semuanya menggunakan bahasa Indonesia yang hancur. Mungkin, bagi para pengusaha televisi swasta atau pembuat iklan pertelevisian di Indonesia, bahasa Indonesia tidak memiliki nilai jual di mata masyarakat sebagai konsumen. Barangkali, berikut yang disebut mereka bahasa yang menjual.
Sudah becek, ngga ada ojek, cape’ deh...
Inilah bahasa yang beberapa waktu lalu menjadi trend di kalangan Anak Baru Gede (ABG) di Indonesia. Mengenai kalimat di atas, jika dilafalkan dengan lidah Indonesia tidak akan menjadi masalah yang begitu berarti. Kalimat di atas menjadi masalah bila dilafalkan dengan dialek yang katanya nginggris. Mengapa harus dibaca dengan gaya pelafalan orang asing yang baru belajar bahasa Indonesia? Sangat wajar bila orang asing melafalkan dengan pelafalan yang demikian, karena mereka berusaha untuk belajar bahasa Indonesia. Kita sebagai pemilik Bahasa Indonesia seharusnya bangga karena bahasa kita dipelajari oleh orang asing. Tapi, orang Indonesia malah menirukan gaya pelafalan orang asing, bukankah sangat menggelikan dan menggelitik telinga bila mendengar lidah orang Melayu melafalkannya dengan gaya orang asing (bule).
Please deh, please dong ah juga pernah menjadi trend yang cukup digemari di kalangan remaja Indonesia pada umumnya. Artis-artis remaja dalam sinetron maupun layar lebar sering menggunakan kata-kata ini. Suatu hal yang sangat menyedihkan, bila kata ini digunakan untuk mematahkan pembicaraan orang yang lebih tua dari kita. Hal ini sudah tidak mencerminkan orang Indonesia yang terkenal sopan, ramah, dan saling menghargai antarsesama dan orang tua. Penggunaan bahasa yang demikian sudah menunjukkan bahwa budi pekerti generasi muda yang semakin ‘kurang ajar’ dan bobrok, hal ini dapat disimak melalui penggunaan bahasanya.
.....Check this song, I will right back, don’t go any where…
Istilah di atas juga sering digunakan oleh pembawa acara, baik itu pembawa acara televisi (presenter), maupun penyiar radio nasional dan lokal. Entah apa sebenarnya yang menjadi alasan pasti sehingga mereka lebih senang mengucapkan bahasa Inggris dan menggabungkannya dengan bahasa Indonesia. Ada yang mengatakan biar tampak lebih pintar bila didengar oleh penonton atau pendengar, ada yang bilang biar tampak lebih gaya bila menggunakan bahasa Inggris. Jika mereka bilang menggunakan bahasa Inggris pada saat membawa acara itu leibih gaya atau biar dibilang pintar, itu salah. Bila dikaji secara akal yang mendengar dan menyimak mereka pada saat membawakan acara itu tidak semua mengerti dan paham dengan arti yang mereka sebutkan. sebagai contoh adalah saya. Saya tidak mengerti dengan apa yang mereka ucapkan, mungkin saja ada lagi pemuda atau pemudi yang tidak paham dengan apa yang mereka celotehkan.
Selain beberapa contoh di atas, ada lagi masalah penggunaan bahasa Indonesia yang salah tapi sudah menjadi benar (?) karena sering digunakan. Satu diantaranya dari perspektif pelafalan bahasa Indonesia. Dalam pelafalan bahasa Indonesia sering ditemukan kesalahkaprahan dalam mengucapkan beberapa kata, baik kata yang diserap dari bahasa asing, maupun kata yang yang berasal dari bahasa Indonesia sendiri, Berikut sebagai contoh.
TV dan TVRI
Televisi seharusnya dilafalkan dengan lidah orang Indonesia yakni, (te-ve), karena bahasa Indonesia melafalkan huruf ‘t’ dengan fonem ‘te’ bukan ‘ti’ dan huruf ‘v’ dibaca ‘ve’, bukan ‘vi’. Jadi seharusnya membaca dan melafalkna TV adalah ‘te-ve’, bukan (ti-vi). Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-hari kita tidak melafalkannya dengan (te-ve), tapi (ti-vi). Sebaliknya, bertemu dengan nama stasiun televisi nasional Indonesia TVRI pelafalannya benar, dengan (te-ve-er-i). Bila membaca dan melafalkan TV dengan fonem (ti-vi), berarti membaca TVRI harus (ti-vi-ar-ai). Bagaimana menurut Anda?
Handphone (HP) dan Telepon Genggam
Siapa nyana sebagai alat komunikasi yang paling mahal pada masa kejayannya sekarang sudah bukan menjadi barang mewah yang menjadi milik kaum borjuis saja. Mulai dari pedagang sayur, pedagang kelas menengah, guru, dosen, siswa, mahasiswa, dan lainnya hampir rata-rata memiliki alat telekomunikasi ini. Akan tetapi, dalam kesehariannya, alat komunikasi ini sayangnya dalam menyebutkannya nginggris yang tanggung. Berikut contohnya.
Handphone yang kita singkat HP, dibaca (ha-pe). Benar? Jika dilihat dari sejarah pembentukan singkatan ini berasal dari bahasa Inggris. Apabila bahasa tersebut dari bahasa Inggris bukankah seharusnya dibaca dengan pelafalan lidah Inggris juga, yakni di baca (eitch-pi). Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-sehari, mulai dari kelas-kelas masyarakat yang saya sebutkan di atas semuanya melafalkannya dengan (ha-pe), termasuk juga saya. Kata Handphone sebenarnya sudah dipadankan ke dalam bahasa Indonesia, yakni telepon genggam. Tapi pupularitas dari dua istilah ini sepertinya lebih memasyarakat HP dibandingkan telepon genggam. Telepon genggam? Cape’ deh.
KFC dan A&W
Indonesia merupakan negara yang tepat bagi investor asing yang ingin menanamkan modalnya dengan meraup keuntungan yang berlipat. Sebagai negara yang memiliki selera tinggi dan berkiblatkan budaya barat, tentulah investor dari negeri Paman Sam tertarik untuk mencoba membuka usaha jenis makanan dari negerinya yang sekarang kita kenal dengan nama KFC dan A&W. Pembaca yang budiman saya yakin sudah pernah mencicipi makanan yang bermerk beda namun berasal dari negara yang sama ini. Akan tetapi sangat disayangnkan kedua merk ini bacakan oleh orang Indonesia dengan cara yang berbeda. Apabila pemilik kedua perusahaan ini mendengar kita membaca dengan cara yang berbeda, bisa-bisa mereka jadi naik pitam.
KFC kepanjangan dari Kentucky Fried Chiken dilafalkan dengan (ka-ef-ci), dan ini sangat benar menurut orang Inggris. Namun bertemu dengan merk yang satunya lagi A&W, dibaca (a dan W) disesuaikan dengan pembacaan abjad orang Indonesia. Bukankah kedua hal di atas bertolak belakang dari segi membacanya. Membaca KFC benar, tapi membaca A&W kurang tepat. Seharusnya A&W dibaca sama dengan pembacaan KFC, yakni degan (ei and double yu). Sesuai dengan lidah orang Inggris bukan?
Sebagai bangsa besar yang menghargai bahasanya sendiri, hal kecil seperti ini sepatutnya tidak perlu terjadi. Pembacaan A&W sudah benar dengan fonem (a dan w), seharusnya pembacaan KFC juga harus disesuaikan dengan lidah orang Indonesia yakni (ka-ef-ce). Kita sebagai orang Indonesia boleh berselarakan sama dengan lidah orang barat, akan tetapi dalam berbahasa kita harus bisa menentukan yang mana sepatutnya bahasa yang pas digunakan dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai orang Indonesia. Pada saat kita harus menggunakan bahasa asing, gunakanlah bahasa asing yang tepat sesuai dengan kondisinya. Begitu juga sebaliknya, saat kita di Indonesia gunakanlah bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan anjuran Pusat Bahasa. Cape deh’…
Benar, jika anda memikirkan masalah di atas, maka tidak akan pernah benar masyarakat Indonesia (khususnya generasi muda) menggunakan bahasanya sendiri. Akan tetapi, inilah bahasa Indonesia yang selalu di pandang cape’ deh oleh penggunanya sendiri yang selalu berkiblatkan dengan bahasa asing yang katanya lebih elegan dan gaul. Jika para pemuda-pemudi pada zaman 1928 mengetahui hal ini, maka generasi yang menyebut dirinya gaul mungkin akan disumpahi karena telah menyia-nyiakan perjuangan mereka yang telah bersusah payah menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan nasional bangsa Indonesia tercinta.
Sangat benar jika setelah membaca sedikit uraian di atas, pembaca yang terhormat menganggap saya terlalu idealis. Pada hakikatnya saya juga adalah generasi yang pemakai bahasa Indonesia yang sangat buruk. Akan tetapi, dengan semangat Sumpah Pemuda mari kita tingkatkan sikap menghargai bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan kesatuan dalam kebhinekaan, karena melalui bahasa Indonesia bangsa kita akan memiliki jati diri yang kokoh di hadapan dunia.
SIMPULAN
Jika bahasa bisa diibaratkan sebagai manusia, maka bahasa pasti akan marah dan sudah cape’ melihat tingkah pengguna bahasa yang semakin zalim terhadap dirinya. Layaknya seorang orang tua yang memperjuangkan waktu dan tenaga untuk membeli mobil, tapi digunakan oleh anak dan cucunya secara sembarangan dan semaunya. Tidak memperhitungkan betapa susah, dengan jerih payah yang tak terhitung untuk mendapatkan mobil tersebut.
Jika kita analogikan bahasa yang kita gunakan sebagai mobil yang diberikan oleh para pemuda-pemudi di era 20-an, -jika diperhitungkan sudah menjadi nenek moyang kita sekarang- mereka pasti akan sangat marah dan disumpahi secara bertubi-tubi karena bahasa Indonesia sudah tidak dihargai dan dilecehkan oleh penggunanya sendiri. Lelah, letih, lesu bahkan darah sudah dikorbankan untuk menjunjung bahasa Indonesia sebagi bahasa persatuan yang memersatukan seluruh masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Marauke. Mari kita jaga bahasa Indonesia dengan keasliannya, kita bina bahasa Indonesia menjadi bahasa yang kokoh dan digunakan di dunia internasional. Kita tunjukkan kepada dunia bahwa bahasa kita adalah bahasa yang mencerminkan jati diri bangsa dan negara tercinta kita, yakni bangsa Indonesia yang berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Semua sesepuh dan pahlawan kita sudah cape’ melihat generasi mudanya yang semena-mena menggunakan bahasanya sendiri.
Sumpah pemuda telah memberikan kita bahasa yang mampu memersatukan berbagai suku, agama, budaya, dan sebagainya dalam satu bahasa yakni bahasa Indonesia. Kita harus mencintai bahasa nasional kita yang mampu memberikan sebuah kekuatan dalam kebhinekaan. Jika kita cinta akan bahasa nasional kita, sebagai pemuda-pemudi Indonesia yang baik dan tahu malu maka kita akan berusaha menguasai bahasa kita itu dengan baik dan benar pula. Bersikaplah positif dengan bahasa Indonesia, artinya janganlah menganggap remeh bahasa Indonesia. Berusahalah menjadi pemuda-pemudi generasi pembaharu yang cermat dalam menggunakan bahasa Indonesia, baik dalam lisan maupun tulisan. Bilamana kita tidak dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, kita harus malu. Kalau sikap seperti itu kita miliki, pastilah bahasa Indonesia tidak akan kacau seperti sekarang. Bahasa Indonesia akan tumbuh dan berkembang menjadi bahasa yang kokoh, dan pasti akan menjadi bahasa yang kuat dan disegani di mata dunia. Jadi, mulailah saat ini dari diri sendiri, dan mulai dari hal yang terkecil kita gunakan bahasa yang baik dan benar.
Hidup Bahasa Indonesia!!!
Hampir 80 tahun telah berlalu sumpah itu diikrarkan oleh para pemuda-pemudi Indonesia yang memiliki semangat idealisme. Semangat untuk memerdekakan Indonesia dari belenggu penjajahan dan ketertindasan dari kolonial yang hampir tiga setengah abad telah menjajah dan menguras kekayaan Indonesia. Kita generasi muda sekarang beruntung karena memilki pemuda-pemudi di masa 20-an yang telah berani memanifestasikan dan menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, walaupun pada saat itu kita masih dalam keadaan terjajah oleh Belanda. Sumpah Pemuda mengikrarkan tiga hal yang paling sakral dalam sejarah bangsa Indonesia yaitu:
1. Kami bertumpah darah satu, Tanah Air Indonesia.
2. Kami berbangsa satu, Bangsa Indonesia.
3. Kami menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Sumpah Pemuda yang diikrarkan oleh pemuda-pemudi Indonesia ini memiliki kekuatan yang maha besar dalam proses pencapaian kemerdekaan. Penuh semangat demi mewujudkan cita-cita bangsa menjadi bangsa yang merdeka dan bebas dari belenggu ketertindasan. Apakah semangat dari Sumpah Pemuda tersebut masih membara, atau semakin lesu bila dibandingkan dengan usia manusia yang dikatakan sudah uzur?
Suatu hal yang menarik dari sumpah pemuda ini adalah, mengapa harus menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia, bukan menjunjung tinggi budaya satu, atau bersuku satu, atau bercita-cita satu, dan sebagainya. Hal ini adalah satu bukti betapa kuat pengaruh bahasa dalam proses pencarian jati diri sebuah bangsa. Seperti buku yang dikarang oleh Alif Danya Munsyi yang berjudul, Bahasa Menunjukkan Bangsa. Dari Judul buku tersebut jelas bahwa suatu bangsa yang kuat adalah bangsa yang menghargai bahasanya sendiri. Lalu, bagaimana dengan kondisi bahasa Indonesia sekarang? Untuk membahas pertanyaan tersebut, alangkah baik kita membahas terlebih dahulu sejarah perkembangan bahasa Indonesia hingga menjadi bahasa persatuan yang kita gunakan sekarang.
Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia
Sebagai bahasa nasional bangsa Indonesia, bahasa Indonesia mengalami tahap-tahap yang sangat penting dalam sejarah perkembangannya. Dimulai dari 1901, disusun ejaan resmi bahasa Melayu oleh Ch. Van Ophuysen dalam Kitab Logat Melayu sebagai cikal bakal bahasa Indonesia. Pada tahun 1928 bahasa Indonesia diikrarkan dalam Sumpah Pemuda sebagai bahasa persatuan. Tahun 1942 kedudukan Bahasa Indonesia semakin kokoh akibat kekalahan belanda terhadap Jepang yang secara otomatis bahasa Belanda tidak boleh dipergunakan lagi, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam situasi resmi. Tahun 1945 Bahasa Indonesia memperoleh kedudukannya yang lebih pasti sebagai bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa kesatuan dan bahasa negara. Kemudian, dengan penetapan pemakaian Ejaan yang Disempurnakan (EYD) oleh Presiden RI H.M Soeharto pada tanggal 16 Agustus tahun 1972, selangkah bahasa Indonesia maju menuju kesempurnaannya. (Lihat J.S Badudu.1985)
Pada uraian di atas telah disinggung Sumpah Pemuda sebagai satu diantara peristiwa penting dalam proses perkembangan bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional dan persatuan bangsa Indonesia. Melihat sejarah perkembangan bahasa Indonesia, bukanlah hal yang mudah untuk mewujudkan bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional yang kita gunakan sekarang. Penuh perjuangan dan penantian momen yang tepat untuk memberikan sebuah bukti Indonesia memiliki bahasa yang mampu memersatukan seluruh masyarakat Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Tidak banyak bangsa yang memiliki bahasa sendiri sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraanya. Sebagai contoh beberapa negara tetangga kita, Malaysia, Singapura, India, Filipina dan banyak lagi negara lainnya yang tidak memiliki bahasa kenegaraanya sendiri, mereka masih menggunakan bahasa dari bangsa yang pernah menjajah mereka. Kemudian, bagaimana dengan penggunaan bahasa persatuan ini yang telah berusia hampir satu abad di zaman yang katanya modern ini?
Kondisi Bahasa Indonesia? Cape’ deh….!
Televisi, radio, surat kabar, majalah, dan segala macam media elekronik maupun cetak merupakan sarana yang paling besar pengaruhnya dalam proses perkembangan bahasa Indonesia. Televisi misalnya, diantara beberapa perusahaan televisi swasta yang ada di Indonesia, adakah yang secara khusus membahas dan membina penggunaan bahasa Indonesia di masyarakat? Jikapun ada, sudah pasti acara ini akan sangat jauh dari minat penonton bila dibandingkan dengan reality show yang ada di stasiun televisi yang lain. Begitu juga dengan iklan komersil yang sering tampil di layar televisi, hampir semuanya menggunakan bahasa Indonesia yang hancur. Mungkin, bagi para pengusaha televisi swasta atau pembuat iklan pertelevisian di Indonesia, bahasa Indonesia tidak memiliki nilai jual di mata masyarakat sebagai konsumen. Barangkali, berikut yang disebut mereka bahasa yang menjual.
Sudah becek, ngga ada ojek, cape’ deh...
Inilah bahasa yang beberapa waktu lalu menjadi trend di kalangan Anak Baru Gede (ABG) di Indonesia. Mengenai kalimat di atas, jika dilafalkan dengan lidah Indonesia tidak akan menjadi masalah yang begitu berarti. Kalimat di atas menjadi masalah bila dilafalkan dengan dialek yang katanya nginggris. Mengapa harus dibaca dengan gaya pelafalan orang asing yang baru belajar bahasa Indonesia? Sangat wajar bila orang asing melafalkan dengan pelafalan yang demikian, karena mereka berusaha untuk belajar bahasa Indonesia. Kita sebagai pemilik Bahasa Indonesia seharusnya bangga karena bahasa kita dipelajari oleh orang asing. Tapi, orang Indonesia malah menirukan gaya pelafalan orang asing, bukankah sangat menggelikan dan menggelitik telinga bila mendengar lidah orang Melayu melafalkannya dengan gaya orang asing (bule).
Please deh, please dong ah juga pernah menjadi trend yang cukup digemari di kalangan remaja Indonesia pada umumnya. Artis-artis remaja dalam sinetron maupun layar lebar sering menggunakan kata-kata ini. Suatu hal yang sangat menyedihkan, bila kata ini digunakan untuk mematahkan pembicaraan orang yang lebih tua dari kita. Hal ini sudah tidak mencerminkan orang Indonesia yang terkenal sopan, ramah, dan saling menghargai antarsesama dan orang tua. Penggunaan bahasa yang demikian sudah menunjukkan bahwa budi pekerti generasi muda yang semakin ‘kurang ajar’ dan bobrok, hal ini dapat disimak melalui penggunaan bahasanya.
.....Check this song, I will right back, don’t go any where…
Istilah di atas juga sering digunakan oleh pembawa acara, baik itu pembawa acara televisi (presenter), maupun penyiar radio nasional dan lokal. Entah apa sebenarnya yang menjadi alasan pasti sehingga mereka lebih senang mengucapkan bahasa Inggris dan menggabungkannya dengan bahasa Indonesia. Ada yang mengatakan biar tampak lebih pintar bila didengar oleh penonton atau pendengar, ada yang bilang biar tampak lebih gaya bila menggunakan bahasa Inggris. Jika mereka bilang menggunakan bahasa Inggris pada saat membawa acara itu leibih gaya atau biar dibilang pintar, itu salah. Bila dikaji secara akal yang mendengar dan menyimak mereka pada saat membawakan acara itu tidak semua mengerti dan paham dengan arti yang mereka sebutkan. sebagai contoh adalah saya. Saya tidak mengerti dengan apa yang mereka ucapkan, mungkin saja ada lagi pemuda atau pemudi yang tidak paham dengan apa yang mereka celotehkan.
Selain beberapa contoh di atas, ada lagi masalah penggunaan bahasa Indonesia yang salah tapi sudah menjadi benar (?) karena sering digunakan. Satu diantaranya dari perspektif pelafalan bahasa Indonesia. Dalam pelafalan bahasa Indonesia sering ditemukan kesalahkaprahan dalam mengucapkan beberapa kata, baik kata yang diserap dari bahasa asing, maupun kata yang yang berasal dari bahasa Indonesia sendiri, Berikut sebagai contoh.
TV dan TVRI
Televisi seharusnya dilafalkan dengan lidah orang Indonesia yakni, (te-ve), karena bahasa Indonesia melafalkan huruf ‘t’ dengan fonem ‘te’ bukan ‘ti’ dan huruf ‘v’ dibaca ‘ve’, bukan ‘vi’. Jadi seharusnya membaca dan melafalkna TV adalah ‘te-ve’, bukan (ti-vi). Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-hari kita tidak melafalkannya dengan (te-ve), tapi (ti-vi). Sebaliknya, bertemu dengan nama stasiun televisi nasional Indonesia TVRI pelafalannya benar, dengan (te-ve-er-i). Bila membaca dan melafalkan TV dengan fonem (ti-vi), berarti membaca TVRI harus (ti-vi-ar-ai). Bagaimana menurut Anda?
Handphone (HP) dan Telepon Genggam
Siapa nyana sebagai alat komunikasi yang paling mahal pada masa kejayannya sekarang sudah bukan menjadi barang mewah yang menjadi milik kaum borjuis saja. Mulai dari pedagang sayur, pedagang kelas menengah, guru, dosen, siswa, mahasiswa, dan lainnya hampir rata-rata memiliki alat telekomunikasi ini. Akan tetapi, dalam kesehariannya, alat komunikasi ini sayangnya dalam menyebutkannya nginggris yang tanggung. Berikut contohnya.
Handphone yang kita singkat HP, dibaca (ha-pe). Benar? Jika dilihat dari sejarah pembentukan singkatan ini berasal dari bahasa Inggris. Apabila bahasa tersebut dari bahasa Inggris bukankah seharusnya dibaca dengan pelafalan lidah Inggris juga, yakni di baca (eitch-pi). Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-sehari, mulai dari kelas-kelas masyarakat yang saya sebutkan di atas semuanya melafalkannya dengan (ha-pe), termasuk juga saya. Kata Handphone sebenarnya sudah dipadankan ke dalam bahasa Indonesia, yakni telepon genggam. Tapi pupularitas dari dua istilah ini sepertinya lebih memasyarakat HP dibandingkan telepon genggam. Telepon genggam? Cape’ deh.
KFC dan A&W
Indonesia merupakan negara yang tepat bagi investor asing yang ingin menanamkan modalnya dengan meraup keuntungan yang berlipat. Sebagai negara yang memiliki selera tinggi dan berkiblatkan budaya barat, tentulah investor dari negeri Paman Sam tertarik untuk mencoba membuka usaha jenis makanan dari negerinya yang sekarang kita kenal dengan nama KFC dan A&W. Pembaca yang budiman saya yakin sudah pernah mencicipi makanan yang bermerk beda namun berasal dari negara yang sama ini. Akan tetapi sangat disayangnkan kedua merk ini bacakan oleh orang Indonesia dengan cara yang berbeda. Apabila pemilik kedua perusahaan ini mendengar kita membaca dengan cara yang berbeda, bisa-bisa mereka jadi naik pitam.
KFC kepanjangan dari Kentucky Fried Chiken dilafalkan dengan (ka-ef-ci), dan ini sangat benar menurut orang Inggris. Namun bertemu dengan merk yang satunya lagi A&W, dibaca (a dan W) disesuaikan dengan pembacaan abjad orang Indonesia. Bukankah kedua hal di atas bertolak belakang dari segi membacanya. Membaca KFC benar, tapi membaca A&W kurang tepat. Seharusnya A&W dibaca sama dengan pembacaan KFC, yakni degan (ei and double yu). Sesuai dengan lidah orang Inggris bukan?
Sebagai bangsa besar yang menghargai bahasanya sendiri, hal kecil seperti ini sepatutnya tidak perlu terjadi. Pembacaan A&W sudah benar dengan fonem (a dan w), seharusnya pembacaan KFC juga harus disesuaikan dengan lidah orang Indonesia yakni (ka-ef-ce). Kita sebagai orang Indonesia boleh berselarakan sama dengan lidah orang barat, akan tetapi dalam berbahasa kita harus bisa menentukan yang mana sepatutnya bahasa yang pas digunakan dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai orang Indonesia. Pada saat kita harus menggunakan bahasa asing, gunakanlah bahasa asing yang tepat sesuai dengan kondisinya. Begitu juga sebaliknya, saat kita di Indonesia gunakanlah bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan anjuran Pusat Bahasa. Cape deh’…
Benar, jika anda memikirkan masalah di atas, maka tidak akan pernah benar masyarakat Indonesia (khususnya generasi muda) menggunakan bahasanya sendiri. Akan tetapi, inilah bahasa Indonesia yang selalu di pandang cape’ deh oleh penggunanya sendiri yang selalu berkiblatkan dengan bahasa asing yang katanya lebih elegan dan gaul. Jika para pemuda-pemudi pada zaman 1928 mengetahui hal ini, maka generasi yang menyebut dirinya gaul mungkin akan disumpahi karena telah menyia-nyiakan perjuangan mereka yang telah bersusah payah menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan nasional bangsa Indonesia tercinta.
Sangat benar jika setelah membaca sedikit uraian di atas, pembaca yang terhormat menganggap saya terlalu idealis. Pada hakikatnya saya juga adalah generasi yang pemakai bahasa Indonesia yang sangat buruk. Akan tetapi, dengan semangat Sumpah Pemuda mari kita tingkatkan sikap menghargai bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan kesatuan dalam kebhinekaan, karena melalui bahasa Indonesia bangsa kita akan memiliki jati diri yang kokoh di hadapan dunia.
SIMPULAN
Jika bahasa bisa diibaratkan sebagai manusia, maka bahasa pasti akan marah dan sudah cape’ melihat tingkah pengguna bahasa yang semakin zalim terhadap dirinya. Layaknya seorang orang tua yang memperjuangkan waktu dan tenaga untuk membeli mobil, tapi digunakan oleh anak dan cucunya secara sembarangan dan semaunya. Tidak memperhitungkan betapa susah, dengan jerih payah yang tak terhitung untuk mendapatkan mobil tersebut.
Jika kita analogikan bahasa yang kita gunakan sebagai mobil yang diberikan oleh para pemuda-pemudi di era 20-an, -jika diperhitungkan sudah menjadi nenek moyang kita sekarang- mereka pasti akan sangat marah dan disumpahi secara bertubi-tubi karena bahasa Indonesia sudah tidak dihargai dan dilecehkan oleh penggunanya sendiri. Lelah, letih, lesu bahkan darah sudah dikorbankan untuk menjunjung bahasa Indonesia sebagi bahasa persatuan yang memersatukan seluruh masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Marauke. Mari kita jaga bahasa Indonesia dengan keasliannya, kita bina bahasa Indonesia menjadi bahasa yang kokoh dan digunakan di dunia internasional. Kita tunjukkan kepada dunia bahwa bahasa kita adalah bahasa yang mencerminkan jati diri bangsa dan negara tercinta kita, yakni bangsa Indonesia yang berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Semua sesepuh dan pahlawan kita sudah cape’ melihat generasi mudanya yang semena-mena menggunakan bahasanya sendiri.
Sumpah pemuda telah memberikan kita bahasa yang mampu memersatukan berbagai suku, agama, budaya, dan sebagainya dalam satu bahasa yakni bahasa Indonesia. Kita harus mencintai bahasa nasional kita yang mampu memberikan sebuah kekuatan dalam kebhinekaan. Jika kita cinta akan bahasa nasional kita, sebagai pemuda-pemudi Indonesia yang baik dan tahu malu maka kita akan berusaha menguasai bahasa kita itu dengan baik dan benar pula. Bersikaplah positif dengan bahasa Indonesia, artinya janganlah menganggap remeh bahasa Indonesia. Berusahalah menjadi pemuda-pemudi generasi pembaharu yang cermat dalam menggunakan bahasa Indonesia, baik dalam lisan maupun tulisan. Bilamana kita tidak dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, kita harus malu. Kalau sikap seperti itu kita miliki, pastilah bahasa Indonesia tidak akan kacau seperti sekarang. Bahasa Indonesia akan tumbuh dan berkembang menjadi bahasa yang kokoh, dan pasti akan menjadi bahasa yang kuat dan disegani di mata dunia. Jadi, mulailah saat ini dari diri sendiri, dan mulai dari hal yang terkecil kita gunakan bahasa yang baik dan benar.
Hidup Bahasa Indonesia!!!
-OoooO-
0 komentar:
Posting Komentar