? ??????????????Halloween Jack? ????? ?? ???Rating: 4.0 (3 Ratings)??6 Grabs Today. 1419 Total Grabs. ????
??Preview?? | ??Get the Code?? ?? ?????????????????????????????Thicker Then Water? ????? ?? ???Rating: 3.7 (3 Ratings)??14 Grabs Today. 1178 Total Grabs. ??????Preview?? | ??Get th BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS ?

Selasa, 15 Desember 2009

Analisis Fungsi Sastra Lisan dalam Masyarakat Melayu Kapuas Hulu: Pak Aloi Berladang:

M. Purna Dewansyah Saputra
Kalimantan Barat

A. Pendahuluan
Berbicara masalah sastra secara keseluruhan tidak terlepas dari persoalan kesusasteraan daerah, khususnya sastra lisan. Untuk itu sastra daerah sangat diperlukan untuk terus diinventarisasi karena merupakan satu di antara warisan budaya daerah di Nusantara.
Sastra lisan adalah salah satu bentuk karya sastra yang merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Sastra lisan, misalnya cerita rakyat diwariskan secara turun-temurun secara lisan yang menjadi milik bersama masyarakat.
Sastrowardoyo (1983:23) mengemukakan bahwa dilihat dari sudut pandang kebudayaan, sastra lisan adalah pengucapan langsung dan serta merta dari jiwa rakyat biasa yang merupakan lapisan masyarakat bawah. Hal ini memperlihatkan bahwa ada persamaan dalam tema dan gaya yang dapat ditemukan di antara sastra lisan dari daerah berlainan.
Dari uraian sekilas di atas, dapatlah ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri sastra lisan, sebagai berikut :
1. Penyebarannya melalui mulut.
2. Lahir di dalam masyarakat yang masih bercorak desa.
3. Tidak diketahui siapa pengarangnya, dan karena itu menjadi milik
masyarakat.
4. Tidak mementingkan fakta dan kebenaran, lebih menekankan pada aspek
khayalan/fantasi yang tidak diterima oleh masyarakat modern.
(Hutomo,1991:3)

Berdasarkan pandangan tersebut, penulis mencoba mengangkat fungsi cerita rakyat Pak Aloi Berladang dalam kehidupan masyarakat Kabupaten Kapuas Hulu. Meskipun cerita tersebut masih tetap hidup di tengah masyarakat Melayu Kapuas Hulu, cerita ini kurang mendapatkan perhatian masyarakat khususnya para generasi muda.

B. Fungsi Sastra
Banyak sekali fungsi sastra, khususnya sastra lisan dalam kehidupan manusia. Menurut Hutomo (1991:69), sastra lisan memiliki beberapa fungsi. Pertama, sastra lisan berfungsi sebagai sistem proyeksi. Kedua, sastra lisan berfungsi untuk pengesahan kebudayaan. Ketiga, sastra lisan sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan sebagai pengendali sosial. Keempat, sastra lisan sebagai alat pendidikan anak. Kelima, sastra lisan sebagai suatu jalan yang dibenarkan oleh masyarakat agar dia dapat lebih superior daripada orang lain. Keenam, sastra lisan berfungsi untuk memberikan cara atau jalan bagi seseorang untuk dapat mencela orang lain. Ketujuh, sastra lisan sebagai alat untuk memprotes ketidakadilan dalam masyarakat. Kedelapan, sastra lisan adalah untuk melarikan diri dari himpitan hidup sehari-hari atau untuk hiburan semata.
Pembahasan makalah ini penulis fokuskan pada fungsi pendidikan dan fungsi hiburan cerita rakyat Pak Aloi Berladang sastra lisan Melayu Kapuas Hulu.

C. Fungsi Sastra Lisan sebagai Alat Pendidikan Anak
Pendidikan pada dasarnya sebagai usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat di masa yang akan datang (Mudyaharjo,2001:11)
Tuntutan untuk memberikan pendidikan sepanjang hayat bagi anak, tidak hanya terbatas pada pendidikan formal, tetapi dapat dilakukan keluarga melalui berbagai cara termasuk dengan menceritakan berbagai cerita rakyat yang memiliki nilai-nilai pendidikan kepada anak. Dalam hal ini, cerita rakyat melayu Kabupaten Kapuas Hulu yakni cerita Pak aloi Berladang dapat dijadikan orang tua sebagai contoh untuk menanamkan pada pribadi anak mana hal yang baik untuk dilakukan atau tidak dan pemberian pengalaman kepada anak-anak dalam kehidupan sehari hari.
Adapun bentuk pendidikan pengalaman yang terkandung dalam cerita Pak aloi Berladang adalah sebagai berikut:

1. Bahwa Binatang itu Tidak Bisa Berbicara dan Mengerti Maksud Manusia.
Pada cerita Pak Aloi Berladang dia berbicara menyuruh kepiting pulang ke rumah seolah-olah menurutnya kepiting mengerti apa yang ia perintahkan. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.
Kata Bu Saloi ”itu kan binatang, bukan seperti manusia bisa pulang sendiri ke rumah”

2. Jangan cepat mengambil keputusan, sebelum mengetahui apa yang dihadapi
Dalam cerita Pak aloi Berladang Pak Aloi terlalu cepat mengambil keputusan terhadap hal yang dihadapinya, padahal ia belum tahu pasti apa yang sedang dihadapi. Misalnya memetik sarang muanyik (lebah) dan menikam (melempar) dengan tombak bapak mertuanya yang sedang menebas (memotong rumput).
Pendek kisah pada hari berikutnya ia bertemu dengan muanyik rampuk bergantung di ujung dahan kayu, tidak terlalu tinggi. Begitu dilihatnya.” Aduh-aduh, sudah bergatung pula kau ini, kulat basi yang ini lain lagi, hitam, kemarin putih, ini hitam pula. Kata istriku kalau bertemu dipetik.” ia pun mulai memetik. Begitu dipetiknya, muanyik ramppuk itu pun menyengat.” aduh-aduh, ada kuman. Semacam pula kulat basi ini, ada kuman.” petik satu begitu, petik dua begitu, diambilnya kayu lalu dipukulnya. Apa yang terjadi kemudian, muanyik rampuk itu pun menyengatnya. Ia menangis sambil berteriak. Ia pulang ke rumah sambil menangis.

Kutipan berikut mengajarkan agar manusia melakukan pengkajian dan mendalamai suatu permasalahan terlebih dahulu sebelum memutuskan sebuat tindakan.
Ia pun menyiapkan kujor, dan juga parang. Urusan ladang sudah tak dihiraukan lagi. Dia pergi ke ladang, tapi yang dilakukannya adalah mencari rusa yang sedang berbaring seperti kemarin. Di lihatnya ladang sebelah tak ditemukannya rusa. Di lihatnya di ladang sebelah lagi, ke ladang mertuanya. Di situ ia bertemu dengan mertuanya yang sedang menebas rumput. ”aduh!” katanya, ” rusa itu kok bisa menebas rumput?” mertua dikatakannya rusa. Mertuanya pun terheran-heran mendengar ada orang yang bercakap-cakap sendiri di belakangnya, kedengarannya seperti suara Pak Aloi. Pak Aloi itu sebenarnya sedang menunggu rusa itu berbaring. ”Aneh benar rusa ini bisa menebas rumput.”
”Eh, Pak Aloi apa yang kau kerjakan di situ?”
”Eh, dia menegur saya. Mengapa rusa ini bisa mengenal saya?”
”Hei, aku ini kan mertuamu!”
”Heh, masak mertua saya rusa. Nanti kau rasa, disuruh berbaring tak mau berbaring. Pesan istri saya kalau rusanya tak mau berbaring ditikam saja.” Mertuanya ditikam dengan kujor, lalu kena kakinya. Orang tua itu pun lari ke rumah sambil menahan sakit. Untung saja Pak Aloi tak sempat menebasnya dengan parang, kalau sempat tentu mertuanya sudah mati.

3. Sabar dan Bijaksana
Dalam cerita Pak aloi Berladang, tercermin sikap Bu Aloi yang begitu sabar dan bijaksana dalam menghadapi prilaku dari Pak Aloi yang lugu dan sedikit ceroboh. Kesabaran dari Bu Aloi inilah yang membuat kehidupan rumah tangga mereka selalu rukun, meskipun banyak sekali pekerjaan Pak Aloi yang tidak benar terutama pada saat mereka membuka ladang.
Berikut ini kutipan tentang kesabaran dari Bu Aloi yang sabar mengadapi Pak Aloi yang selalu tidak beres mengerjakan pekerjaan.
”Mana ladang kita yang katanya sudah ditebas?”
”Sudahkan!” kata Pak Aloi.
”Sudah, apanya?”
”Waktu aku duduk di langkau, akukan sudah memberitahu, tebas lurus kesana, tebas lurus kesini, setelah itu lalu dibuat seperti pulau. Selesailah, tak ada yang akan ditebas lagi!”

Istrinya pun menggaruk kepala yang tidak gatal. ”Aduh” kata istrinya, tak pernah aku menemukan manusia yang terlalu pintar seperti kamu ini, bukan lagi bodoh, benar-benar sudah terlau pintar.”

4. Kepatuhan dan Kesetiaan
Dalam cerita Pak Aloi Berladang juga sering digunakan orang tua sebagai media untuk menasihati anak perempuannya agar patuh dan taat kepada suaminya kelak. Bagaimanapun situasi suaminya, sedungu dan seceroboh ataupun kekurangan lainnya sebagai seorang istri haruslah patuh dan setia kepada suaminya. Kepatuhan dan kesetiaan seorang istri kepada suaminya terungkap dalam cerita Pak Aloi Berladang. Berikut ini kutipan yang menceritakan kepatuhan dan kesetiaan Mak Aloi kepada suaminya.
” O, benar juga,”kata Mak Aloi. Mak Aloi pun ikut juga membantu bekerja. Cepat juga ia bekerja, parangnya benar-benar tajam. Lalu ditancapnya tiang-tiang untuk menyangga atapnya. Kemudian dirapikannya lantai langkau itu. Diambil daun asam patah untuk atapnya. ” ah, bagus langkau ini.” langkau yang dipujinya dahulu, sebelum ia memikirkan ladangnya. ”Alhasil pulanglah kita berdua,. Kali ini kita hanya melihat tanah lalu membuat langkau-langkau.
Hari berikutnya tak perlu Mak Aloi mengikuti aku, tetap saja di rumah, beres!” katanya, ” Mak Aloi buatkan bekal yang baik-baik, nyaman
nyaman, banyak-banyak, karena maklumlah bila bekerja biasanya kuat makan.”
”Ya! Kata istrinya, ” tak masalah, asalkan ladang kita jadi.” ”Eh, jangan tanya jadi-tidak, pendeknya beres!”
Istrinya menuruti saja perintah suaminya.


C. Fungsi Sastra Lisan sebagai Hiburan
Sastra lisan sebagai suatu ekspresi kesusasteraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan, pada dasarnya juga digunakan sebagai hiburan untuk mengisi waktu senggang. Biasanya kebiasan masyarakat Melayu Kabupaten Kapuas Hulu pada saat sela-sela waktu jeda/istirahat berladang, diisi mereka dengan bercerita tentang cerita-cerita rakyat.
Cerita Pak Aloi Berladang sering diceritakan oleh orang tua kepada anak-anaknya waktu-waktu senggang sehingga memberikan suasana kehangantan dan waktu senggang terasa lebih mengasyikan untuk melepas lelah.

D. Penutup
Tokoh Pak Aloi dalam cerita rakyat Pak Aloi Berladang jangan ditafsirkan semata bahwa Pak Aloi adalah seorang yang bodoh dan lugu. Sesunguhnya di dalam cerita Pak Aloi Berladang tersebut terdapat nilai-nilai yang sangat berarti untuk menjadi pelajaran bagi kehidupan kita sehari-hari.
Fungsi-fungsi sastra lisan (cerita rakyat) yang terkandung pada cerita Pak Aloi Berladang sebagai alat pendidik anak dapat dilakukan oleh orang tua dengan memberikan muatan nilai-nilai moral untuk bekal hidup bagi seorang anak. Pemberian pemahaman kepada anak penting dilakukan dengan menjelaskan bahwa binatang itu tidak bisa berbicara seperti halnya manusia, jangan terlalu cepat mengambil keputusan, sabar dan bijaksana dalam menghadapi permasalahan, serta patuh dan setia terhadap suami.
Selain itu, fungsi sastra lisan yang terkandung dalam cerita Pak Aloi Berladang sebagai hiburan tercermin dari banyaknya kejadian-kejadian lucu dalam cerita tersebut. Menyimak cerita tersebut atau membacanya tentu akan memberikan suasana yang menyenangkan dan menggelikan karena banyaknya kejadian-kejadian yang tidak masuk akal, bahkan konyol.

DAFTAR PUSTAKA
Hutomo, Suripan Sadi.1991. Mutiara yang Terlupakan. Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya: Hiski.

Mudyaharjo, Redja. 2006. Pengantar Ilmu Pendidikan. Sebuah Studia Awal tentang Dasar Pendidikan. Jakarta. Grafindo.

Sastrowardoyo, Subagio. 1983. Bunga Rampai Sastra Lisan. Jakarta: Asean Commite On Culture and Information.

Kamis, 10 September 2009

Sastra Daerah dan Kaitan dengan Ilmu Lainnya

PENDAHULUAN
Ilmu sastra menunjukkan keistemewaan, barangkali juga keanehan yang mungkin tidak dapat kita lihat pada banyak cabang ilmu pengetahuan lain: yaitu bahwa obyek utama penelitiannya tidak tentu, malahan tidak keruan. Sampai sekarang belum ada seorang pun yang berhasil member jawaban yang jelas atas pertanyaan pertama dan paling hakiki, yang mau tak mau diajukan oleh ilmu sastra: apakah itu sastra?
Sebagai bahan banding, kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta: akar kata śās-, dalam bentuk kata kerja turunan berarti ‘mengarahkan,mengajar, membri petunjuk atau intruksi’. Akhiran –tra biasanya menunjukkan alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku intrusksi atau pengajaran’. Jadi,sastra adalah sebuah alat yang mengarahkan dan member petunjuk (Teeuw,1984:23)
Dalam disiplin ilmu sastra, pada umumnya dikenal dalam dua kelompok. Sastra modern dan sastra daerah. Ditinjau dari segi penciptaanya, sastra modern diciptakan oleh individual atau perseorangan dan menjadi hak milik penciptanya, sedangkan sastra daerah penciptanya tidak diketahui dan menjadi hak milik suatu masyarakat kolektif dimana karya tersebut tersebar dan berkembang.
Disiplin ilmu sastra daerah pada umumnya sangat jarang diteliti. Hutomo, (1991:32) mengatakan yang mula-mula mengadakan penelitian sastra lisan –yang merupakan bagian dari sastra daerah- di daerah Indonesia (nusantara) ialah beberapa penyiar agaman Nasrani, ahli-ahli bahasa-bahasa dan sastra Indonesia dan para pegawai pemerintah jajahan dari Eropa.
Minimnya penelitian sastra daerah yang ada di Indonesia, menyebabkan teori-teori yang mendukung penelitian sastra daerah juga sangat minim. Danandjaja (1982) mengungkapkan minimnya penelitian dan teori tentang sastra daerah diakibatkan kurangnya minat dari peneliti untuk meneliti sastra daerah, padahal Indoensia memiliki beraneka ragam jenis dan genre sastra daerah dan folklor.
Beranjak dari uraian di atas, makalah ini akan membahas sedikit teori yang mencakup “Hubungan sastra daerah dengan ilmu-ilmu lainnya”, yang dijabarkan ke dalam beberapa sub masalah. Makalah ini sangatlah jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami mengharap kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari para pembaca. Mudah-mudahan makalah ini bisa bermanfaat bagi pembacanya.

Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah “Hubungan sastra daerah Dengan Disiplin Ilmu Lainnya” yang dijabarkan ke dalam sub masalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah kaitan sastra daerah dengan folklor?
b. Bagaimanakah kaitan sastra sastra daerah dengan tradisi lisan?
c. Bagaimanakah kaitan sastra sastra daerah dengan sastra lisan?

Tujuan penulisan makalah ini di bagi menjadi dua, yakni tujuan ilmiah dan tujuan praktis. Adapun tujuan ilmiah dari penulisan makalah ini adalah (a) mendeskripsikan kaitan sastra daerah dengan ilmu-ilmu lainnya, (b) sebagai penambah wawasan dalam disiplin ilmu sastra daerah.
Sedangkan tujuan praktis makalah ini adalah (a) sebagai sarana untuk belajar menulis dalam penulisan karya ilmiah, (b) sebagai pemenuh tugas kelompok mata kuliah Sastra Daerah program studi Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah FKIP Untan.

SASTRA DAERAH DAN KAITANNYA DENGAN ILMU-ILMU LAIN
Untuk mengetahui bagaimana kaitan antara sastra daerah dengan ilmu-ilmu lainnya, kami mengira alangkah lebih baik kita membahas terlebih dahulu lebih mendalam ilmu-ilmu yang diperkirakan ada kaitan dengan sastra daerah.

I. FOLKLOR
A. Definisi Folklor
Kata folklor adalah pengindonesian kata Inggris Folklore. Kata itu adalah kata majemuk, yang berasal dari dua kata dasar folk dan lore. Folk yang sama artinya dengan kata kolektif (colecctivity). Menurut Alan Dundes (dalam Danadjaja.1984) folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal itu dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, dan agama yang sama. Namun, yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yakni suatu kebudayaan yang telah mereka warisi secara turun-menurun. Sedangkan lore adalah tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya, yang diwariskan secara turun-menurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
Jadi, definisi folklor secara keseluruhan: folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).
Definisi folklor yang dibuat oleh Danandjadja di atas merupakan perluasan dari definisi Jan Harold Brunvand (lihat Brunvand 1968:5). Definisi Brunvand berbunyi: “Folklore may be definied as those materials in culture that circulate traditionally among members of any group in defferent version, whether in oral or by means of customary example”.

B. Ciri-Ciri Folklor
Agar dapat membedakan folklor dari kebudayaan lainnya, kita harus mengetahui dahulu ciri-ciri pengenal utama folklor pada umumnya, yang dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. it is oral;
2. it is tradisional;
3. it is exist in different versions;
4. it is usually anounymous
5. it tends to become formurized
Jadi, folklor itu disebakan secara lisan dari mulut ke mulut, dari satu generasi ke satu generasi, yang kadang-kadang penuturannya itu disertai dengan perbuatan (misalnya, mengajar tari, mengajar membatik, mengajar mendalang)
Oleh sifatnya yang tradisional, maka folklor itu disebarkan di dalam bentuknya yang relatif tetap, atau di dalam bentuk baku di dalam kelompok masyarakat tertentu. Dan oleh karena folklor itu disebarkan secara lisan, maka makin jauh dari sumbernya folkor ini makin banyak mengalami perubahan, walaupun intinya tetap.
Di dalam masyarakat yang bersifat komunal, pencipta folklor itu tidak diketahui. Ambilah misalnya tembang ilir-ilir dalam sastra lisan Jawa. Tembang ini sangat populer di masyarakat tetapi tembang ini tidak diketahui siapa penciptanya, sehingga orang bebas untuk menafsirkan isinya.
Yang terakhir adalah, folklor itu mempunyai bentuk klise. Di dalam bentuk cerita rakyat misalnya, ada perbandingan sebagai berikut: “matanya bagai bintang timur” (Melayu/Indonesia); ‘ayunan tangannya waktu berjalan bagaikan daun kelapa lepas dari batangnya’. Penyimpangan dari bentuk tetap ini dianggap menyalahi aturan yang ada.
Selain kelima ciri folklor yang dikemukakan oleh Brunvard di atas, ada beberapa lagi ciri folklor yang dikemukakan oleh Danandjaja (1991:3-4), yakni:
1. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan.
2. Folklor bersifat tradsional.
3. Foklor ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini dikarenakan proses penyebarannya melalui tuturan (lisan) sehingga resiko interpolasinya lebih tinggi.
4. Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi.
5. Folklor biasanya memiliki bentuk yang berumus dan berpola.
6. Folklor mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif.
7. Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum.
8. Folklor menjadi milik bersama dari kolektif tertentu.
9. Kolektif umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatannya kasar dan terlalu spontan.

C. Konsep folklor
Konsep folklor itu, sebenarnya mencakup beberapa hal, yakni:
1. Sastra lisan
2. sastra tertulis penduduk daerah pedesaan dan masyarakat kecil
3. ekspresi budaya yang mencakup:
  • teknologi budaya;
  • pengetahuan rakyat;
  • kesenian dan rekreasi (arsitektur tradisional, kerajinan rakyat, seni pandai gamelan, pengetahuan obat-obatan tradisional, ilmu firasat, numerology atau ilmu petungan, seni ukir, tari-tarian dan permainan)

D. Beberapa Macam-Macam Folklor
1. Folkor lisan
Beberapa contoh folklor lisan yang ada di Indonesia yakni (1) bahasa rakyat, (2) ungkapan tradisional, (3) pertanyaan tradisional, (4)sajak dan puisi rakyat, (5) cerita prosa rakyat; dan (6) nyanyian rakyat.
1) Bahasa Rakyat
Bentuk Folklor Indonesia yang termasuk dalam kelompok bahasa rakyat adalah logat (dialect) bahasa-bahasa nusantara, misalnya logat bahasa Melayu Kalimantan Barat yang terbagi menjadi beberapa macam logat. Bentuk lain dari bahasa rakyat adalah slang. Menurut kamus Webster’s New World dictionary of the American Langguage (1959), asal slang adalah kosa kata dan idiom para penjahat gelandangan atau kolektif khusus. Maksud diciptakan bahasa slang ini untuk menyamarkan arti bahasanya terhadap orang luar.
Bahasa slang ini di Indonesia dikenal dalam berbagai bentuk, yakni (a) cant (b) argot, (c) Shop Talk (d) Colloquial (d) Sirkumlokusi (e) Gelar kebangsawanan atau jabatan dalam keluarga (Danandjaja, 1984:22)
1) Cant
Cant adalah istilah-istilah digunakan oleh para pencopet di kota-kota besar untuk memberikan isyarat-isyarat kepada temannya. Misalnya istilah jengkol dan rumput. Jengkol yang sebenarnya berarti buah yang semacam dengan Petai, cuma lebih besar bentuknya. Bagi para pencopet jengkol diartikan sebagai kaca mata, karena bentuk Jengkol mirip dengan kaca mata. Istilah ini digunakan sewaktu seorang pencopet atau penjambret menyuruh kawannya untuk merampas kaca mata orang yang hendak dijadikan korbannya.
2) Argot
Argot sering digunakan sebagai bahasa rahasia para homoseks (gay) laki-laki di Jakarta yang mencari nafkah sebagai penata rambur, perancang pakaian, peragawan dan sebagainya. Cara mereka mengubah bahasa mereka adalah dengan cara menyisipkan suku kata in di dalam setiap isitlah Indonesia atau daerah yang mereka gunakan. Misalnya istilah banci setelah disisipi dengan suku kata in menjadi binancini, bule menjadi binunline, dan cakep menjadi cinakinep.
3) Shop talk
Shop talk atau bahasa pedagang umumnya digunakan para pedagang di Jakarta untuk menyatakan istilah harga. Istilah ini dipinjam dari bahsa Cina suku bangsa Hokian, seperti jigo (dua puluh lima), cepe (seratus), seceng (seribu), dan cetiau (satu juta).
4) Colloquial
Colloquial yakni bahasa sehari-hari yang menyimpang dari bahasa konvensional, seperti bahasa para mahasiswa Jakarta yang pada dasarnya adalah bahasa orang Betawi yang dibubuhi dengan istilah khusus, seperti ajegile (gila), menyala bob (sangat menarik).
5) Gelar kebangsawanan
Gelar kebangswnan atau yang sering disebut jabatan tradisional dalam silsilah keluarga masih digunakan sampai sekarang. sebagai contoh, dalam adat Jawa gelar kebangsawanan pria di Jawa Tengah, dengan urutan dari paling rendah sampai paling tinggi; mas, raden, raden mas,raden panji, raden tumenggung, raden ngabehi, raden mas panji, dan raden mas aria; dan untuk wanita adalah; raden roro, raden ejeng, dan raden ayu (Berg, 1902, dan Winter, 1854 dalam Danandjaja. 1982)
Dari beberapa macam bahasa rakyat yang diungkapkan di atas, bahasa rakyat memiliki beberapa fungsi. Adapun fungsi bahasa rakyat sebagai berikut:
a) Untuk memberi serta memperkokoh identitas folknya (slang, cant, shop talk, argot dan sebagainya)
b) Untuk melindungi folk pemilik folklor itu dari ancaman kolektif lain atau penguasa.
c) Untuk memperkokoh kedudukan folknya pada jenjang pelapisan masyarakat.
d) Untuk memperkokoh kepercayaan rakyat dari folknya

2) Ungkapan Tradisional
Menurut Alan Dundes peribahasa atau ungkapan tradsional sukar sekali untuk didefinisikan, bahkan menurut Archer Taylor peribahasa tidak mungkin untuk diberi definisi. Sedangkan Cervantes mendifinsikannya sebagi “kalimat pendekyang disarikan dari pengalaman yang panjang.”, sedangkan Bertrand Russel menganggapnya sebagai “kebijakan orang banyak yang merupakan kecerdasan seorang” (lihat Dundes, 1968).
Walaupun definisi secara implisit dan ilmiah tidak dapat dikemukakan secara jelas, Brunvard (1968:38) menjelaskan ungkapan tadsional mem[unyai tiga sifat hakiki, yakni (a) Peribahasa harus berupa satukalima ungkapan, tidak cukup hanya berupa satu kata tradsional saja, misalnya “astaga” atau “ajegile’; (b) peribahasa ada dalam bentuk yang sudah standar, misalnya “seperti Cina karam” adalah peribaha, tetapi “seperti Cina ribut” bukan peribahasa; (c) suatu peribahasa harus mempunyai vitalitas (daya hidup) tradisi lisan, yagn dapat dibedakan dari bentuk-bentuk klise tulisan yang berbentuk syair, iklan, reportase olah raga dan sebagainya.

3) Pertanyaan Tradisional
Pertanyaan tradisional di Indonesia lebih terkenal dengan nama teka-teki. Teka-teki adalah pertanyaan tradisional dan mempunyai jawaban tradisional pula. Menurut Alan Dundes dan Robert A. Georges teka teki adalah ungkapan lisan tradisional yang mengandung satu atau lebih pelukisan (descriptive), sepasang daripadanya dapat saling bertentangan dan jawabannya (referent) harus diterka (George & Dundes, 1963:113).
Menurut Alan Dundes, teka-teki dapat digolongkan ke dalam dua kategori umum, ykani; (a) Teka-teki yang tidak bertentangan (nonoppositional riddles), dan (b) teka-teki yang bertentangan (oppositional riddles). Teka-teki yang tidak bertentangan bersifat harfiah, jawabannya dan pertanyaannya adalah identik. Misalnya; “Apa yang Hidup di sungai?” jawabannya adalah; “Ikan”. Sedangkan teka-teki yang bertentangan bersifat kiasan. Sebagai contoh; “Ular melingkar sambil merokok, apakah itu?” jawabannya “Racun nyamuk yang sedang menyala”.

4) Sajak dan Puisi Rakyat
Kekhasan dari genre folklor ini adalah bahwa kalimatnya tidak berbentuk bebas (free phrase) melainkan berbentuk terikat (fix phrase). Sajak atau puisi rakyat adalah kesusastraan rakyat yang sudah tertentu bentuknya, biasanya terjadi dari beberapa deret kalimat, ada yang berdasarkan mantra, ada yang berdasarkan panjang pendek suku kata, lemah tekanan suara, atau hanya berdasarkan irama (Danandjaja, 1984:46).
Suku-suku bangsa di Indonesia memliki banyak sekali puisi rakyat yang masih belum dikumpulkan apalagi diterbitkan. Suku bangsa Jawa, misalnya, memiliki puisi rakyat yang harus dinyanyikan atau di-tembang-kan. Puisi rakyat itu dapat dikllasifikasikan ke dalam golongan sinom, pangkur, dan durma (Renneft,1983). Menurut K.A.H. Hidding (1953), pada suku bangsa Sunda ada semacam puisi rakyat yang berfungsi sebagai sindiran, yang dalam bahasa daerahnya disebut paparikan. Paparikan Sunda, menurut bentuknya dapat dibandingkan dengan paparikan jawa dan pantun Melayu.

5) Cerita Prosa Rakyat
Menurut Wlliam R. Bascom, cerita prosa rakyat dapat dibagi dalam tiga golongan, yaitu: (a) mite (myth), (b) legenda (legend), dan (c) dongeng (folktale) (Bascom, 1965:4).
Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia yang bukan kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Mite pada umumnya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia, terjadinya maut, bentuk khas binatang, bentuk tipografi, gejala percintaan mereka, hubungan kekerabatan mereka, kisah perang mereka, dan sebagainya (Bascom, 1965b: 4-5)
Sedangakan legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Berlainan dengan mite, legend ditokohi manusia, walaupun ada kalanya memiliki sifat-sifat yang luar biasa, dan sering kali juga dibantu makhluk-makhluk ajaib. Tempat terjadinya di dunia seperti yang kita kenal sekarang, karena terjadinya belum terlalu lampau. Sebaliknya, dongeng adalah prosa rakyat tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita dan dongeng tidak terikat oleh waktu maupun tempat (Bascom, 1965b:3-20)

6) Nyanyian Rakyat (Folksongs)
Menurut Jan Harold Brunvard, nyanyian rakyat adalah salah satu genre atau bentuk folkor yang terdiri dari kata-kata atau lagu, yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, terbentuk tradisional, serta banyak mempunyai varian (Brunvard, 1968:130)
Berbeda dengan kebanyakan bentuk-bentuk folkor lainnya, nyanyian rakyat berasal dari bermacam-macam sumber dan timbaul dalam berbagai macam media. Seringkali nyanyian rakyat ini kemudian dipinjam oleh pengubah lagu profesional untuk diolah lebih lanjut menjadi nyanyian pop atau klasik (seriosa). Beberapa nyanyian rakyat yang masih eksis hingga sekarang yakni, nina bobo, cicak-cicak di dinding, pok ame-ame, dan sebagainya.

2. Folklor setengah lisan
Yang termasuk folklor setengah lisan adalah bahan folklor berupa:
a) Drama rakyat (ketoprak, ludrug, lenong, wayang orang, wayang kulit, topeng, dan lain-lain)
b) Tari (serimpi, kuda lumping, kupu-kupu, serampang duabelas, dan lain-lain)
c) Kepercayaan dan takhayul (gugun tuhon)
d) Upacara-upacara (ulang tahun, kematian, perkawinan, sunatan, pertungangan, dan lain-lain)
e) Peemainan rakyat dan hiburan rakyat (misalnya: macanan, gobak sodor, sundamanda, dan lain-lain)
f) Adat kebiasaan.
g) Pesta-pesta rakyat (wetoran, sekaten, dan lain-lain)

3. Folklor Bukan Lisan
Folklor ini dibagi dua, yakni: (a) yang berupa material; dan (b) yang berupa bukan material. Yang termasuk bagian yang berupa material adalah mainan (boneka, makanan dan minuman, peralatan dan senjata, alat-alat music, pakaian dan perhiasan, obat-obatan, seni kerajinan tangan dan arsitektur rakyart (bentuk rumah, misalnya). Sedangakan yang termasuk ke dalam bagian yang berupa bukan material adalah bahan-bahan folklor yang berupa: musik (gamelan Sunda, Bali, Jawa), dan bahasa isyarat (mengangguk tanda setuju; mengggelengkan kepala berarti tidak setuju, dan lain-lain).

II. TRADISI LISAN
A. Pengertian
Menurut keputusan atau rumusan UNESCO, yang dinamakan tradisi lisan itu adalah “those traditions which have been transmitted in time and space by the word or art”, yang artinya kurang lebih “tradisi yang ditransmisi dalam waktu dan ruang dengan ujaran dan tindakan (advisory Committee, 1981).
Di dalam hubungan penulisan sejarah, yang dimaksud dengan tradisi lisan secara umum adalah “segala macam keterangan lisan dalam bentuk laporan tentang sesuatu hal yang terjadi pada masa lampau” (Vasina, 1973:19).

B. Jenis-jenis tradisi lisan
Berdasarkan dari definisi di atas, maka tradisi lisan mencakup ke dalam berbagai hal sebagai berikut:
1. yang berupa kesusasteraan lisan;
2. yang berupa teknologi tradisional;
3. yang berupa pegetahuan folk: di luar pusat-puat istana dan kota metropolitan.
4. yang berupa unsur-unsur religi dan kepercayaan folk di luar batas formal agama-agama besar.
5. yang berupa kesenian folk di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan; dan
6. yang berupa hukum adat.

III. SASTRA LISAN
A. Pengertian
Istilah sastra lisan di dalam bahasa Indonesia meupakan terjemahan bahasa Inggris Oral literature. Sastra lisan adalah kesusasteraan yang mencakup ekspresi kesusasteraan warga suatu kebudayaan yagn disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan (Hutomo, 1991:1).

B. Ciri-ciri
Selain pengertian di atas, hutomo juga menjelaskan ciri-ciri sastra lisan. adapun ciri-ciri sastra lisan adalah sebagai berikut:
1. Penyebarannya melalui mulut; maksudnya ekpresi budaya yang disebarkan, baik dari segi waktu maupun ruang melalui mulut.
2. Lahir di dalam masyarkat yang masih bercorak desa, masyarkat di luar kota, atau masyarakat yagn belum mengenal huruf.
3. Menggambarkan ciri-ciri budaya suatu masyarakat, sebab sastra lisan itu merupakan warisan budaya yang menggambarkan masa lampau, tetapi menyebut pula hal-hal baru (sesuai dengan perubahan sosial).
4. tidak diketagui siapa pengarangnya, dan karena itu menjadi milik masyarakat.
5. Bersifat puitis, teratur, dan berulang-ulang; maksudnya (a) untuk menguatkan ingatan, (b) untuk menjaga keaslian sastra lisan supaya tidak cepar berubah.
6. tidak mementingkan fakta dan kebenaran, lebih memetingkan aspek khayalan/ fantasi yang tidak diterima oleh masyarakat modern, tetapi sastra lisan itu mempunyai fungsi penting di dalam masyarakatnya.
7. terdiri dari berbagai versi.
8. bahasa menggunakan gaya bahasa lisan (sehari-hari), mengandung dialek, kadang-kadang diucapkan tidak lengkap.

C. Genre Dalam Sastra Lisan
1. Sastra lisan murni dan Sastra lisan setengah lisan
Sastra lisan murni adalah sastra lisan yang benar-benar diturunkan secara lisan. sastra ini pada umumnya berbentuk prosa murni (dongeng, cerita hiburan dan lain-lain) dan ada juga yang berbentuk prosa liris (penyampaiannya dengan dilagukan/diiramakan). Jenis lain dari sastra lisan murni adalah bentuk puisi. misalanya dalam bentuk pantun, syair dan parikan. Sedangkan yang dimaksud sastra lisan setengah lisan adalah sastra lisan yang penuturannya dibantu oleh bentuk-bentuk seni yang lain. misalnya wayang orang, wayang kulit, ketoprak, drama rakyat dan sebagainya (Hutomo, 1991:60-61)

D. Fungsi sastra lisan
Hutomo (1991:69-74) menjelaskan ada delapan fungsi sastra lisan yang dapat di lihat dalam kehidupan masyarakat, yakni:
1. Sebagai system proyeksi (perkiraan tentang keadaan di masa yang akan datang ). Sebagai contoh, cerita Sangkuriang yang menceritakan angan-angan terpendam dari seorang anak laki-laki untuk bersenggama dengan ibu kandungnya.
2. Sebagai pengesah kebudayaan. Misalnya, cerita cicak yang mengkhianati Nabi Muhammad. Maksudnya cerita ini mengandung maksud untuk mengesahkan pembunuhan cicak.
3. Sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan sebagai alat pengendali sosial. Misalnya pada pribahasa-pribahasa tua. “pagar makan tanaman”.
4. Sebagai alat pendidikan anak. Dalam fungsi ini, cerita rakyat Si Kancil sering digunakan sebagai media pendidikan untuk anak-anak.
5. Untuk memberikan suatu jalan yang dibenarkan oleh masyarakat agar dia dapat lebih superior daripada orang lain. Hal ini tampak dalam karya sastra lisan teka-teki.
6. Untuk memberikan seorang suatu jalan yang diberikan oleh masyarakat agar dia dapat mencela orang lain. Hal ini dapat di lihat dalam pantun.
7. sebagai alat untuk memprotes ketidakadilan dalam masyarakat, dan
8. Sebagai hiburan.

E. Penyebaran sastra lisan
Perpindahan dan penyebaran sastra lisan dapat bersifat horizontal dan vertical. Adapun yang dimaksud penyebaran secara horizontal yakni penyebarannya bias dilakukan dari tetangga ke tetangga, dari kampong ke kampong, dari kota ke kota, dan sebagainya. Sedangkan penyebaran vertikal, yakni penyebaran yang dilakukan masih dalam satu lingkungan keluarga, bapak ke anak, dari kakek ke cucu, dari guru ke murid, dan lain-lain.

PENUTUP

I. Simpulan
Berdasarkan uraian pada bab II, dapat kita tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Jika diurutkan, kaitan antara sastra daerah dengan ilmu lainnya dapat di lihat dalam bagan sebagai berikut:

Folklor Sastra daerah Tradisi Lisan Sastra lisan
Dari bagan di atas, jelas yang menduduki peringkat teratas adalah folklor, kemudian sastra daerah, kemudian tradisi lisan dan sastra lisan.
2. Di lihat dari ciri dan fungsi dari keempat disiplin ilmu di atas, tampak jelas bahwa tidak ada perbedaan yang jauh bila ditinjau dari segi proses penyebarannya, semuanya disebarkan secara lisan (dari mulut ke mulut). Yang membedakannya hanya dalam proses pengklasifikasiannya saja. Terutama antara tradisi lisan dan sastra lisan yang pada hakikatnya hampir sama.
3. Pada saat pengklasifikasian, hendaknya peniliti memerhatikan secara seksama, termasuk ke dalam genre apa objek yang akan ditelitinya. Karena setiap sastra daerah maupun folklor memiliki ciri-cirinya masing-masing. Terutama bila ditinjau dari aspek bentuk dan isi objeknya.
4. Setiap genre sastra lisan memilik kegunaan tersendiri bagi pemiliknya dalam kehidupan sehari-hari.

II. Saran
Adapun saran-saran yang ingin kami sampaikan adalah sebagai berikut:
1. Sastra daerah memliki nilai-nilai luhur dalam kehidupan sehari-hari, hendaknya kita sebagai generasi muda melestarikan sastra daerah yang mendeskripsikan kehidupan nenek moyang di masa lampau.
2. Di Indonesia sangat beraneka ragam satra daerah yang belum terjamah dan terdokumentasi, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Hal ini harus dilakukan untuk keaslian dan hilang di telan masa.

Daftar Pustaka

Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia. Ilmu Gosip, dongeng dan lain-lain. Jakarta: Grafiti Press.

Depdikbub. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Hutomo, suripan sadi. 1991. Mutiara yang terlupakan. Pengantar Studi Sastra Lisan.. Surabaya: HISKI.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Rustammiri. 2006. Analisis Struktur Cerita Pangeran Baporong. Pontianak: FKIP.

**Untuk para PLAGIATOR, harap cantumkan alamat Blog ini ya..!!!
Semoga bermanfaat..!!! Trims..



















Cerita Rakyat Pak Aloi Berladang

Analisis Fungsi Sastra Lisan Dalam Masyarakat Melayu Kapuas Hulu

Oleh: M. Purna Dewansyah Saputra (Kalimantan Barat)

A. Latar Belakang

Berbicara masalah sastra secara keseluruhan tidak terlepas dari persoalan kesusasteraan daerah, khususnya sastra lisan. Untuk itu sastra daerah sangat diperlukan untuk terus diinventarisasi karena merupakan satu di antara warisan budaya daerah di Nusantara.

Sastra lisan adalah salah satu bentuk karya sastra yang merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Sastra lisan, misalnya cerita rakyat diwariskan secara turun-temurun secara lisan yang menjadi milik bersama masyarakat.

Sastrowardoyo (1983:23) mengemukakan bahwa dilihat dari sudut pandang kebudayaan, sastra lisan adalah pengucapan langsung dan serta merta dari jiwa rakyat biasa yang merupakan lapisan masyarakat bawah. Hal ini memperlihatkan bahwa ada persamaan dalam tema dan gaya yang dapat ditemukan di antara sastra lisan dari daerah berlainan.

Dari uraian sekilas di atas, dapatlah ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri sastra lisan, sebagai berikut :

1. Penyebarannya melalui mulut.

2. Lahir di dalam masyarakat yang masih bercorak desa.

3. Tidak diketahui siapa pengarangnya, dan karena itu menjadi milik masyarakat.

4. Tidak mementingkan fakta dan kebenaran, lebih menekankan pada aspek khayalan/fantasi yang tidak diterima oleh masyarakat modern. (Hutomo,1991:3)

Berdasarkan pandangan tersebut, penulis mencoba mengangkat fungsi cerita rakyat Pak Aloi Berladang dalam kehidupan masyarakat Kabupaten Kapuas Hulu. Meskipun cerita tersebut masih tetap hidup di tengah masyarakat Melayu Kapuas Hulu, cerita ini kurang mendapatkan perhatian masyarakat khususnya para generasi muda.

B. Fungsi Sastra

Banyak sekali fungsi sastra, khususnya sastra lisan dalam kehidupan manusia. Menurut Hutomo (1991:69), sastra lisan memiliki beberapa fungsi. Pertama, sastra lisan berfungsi sebagai sistem proyeksi. Kedua, sastra lisan berfungsi untuk pengesahan kebudayaan. Ketiga, sastra lisan sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan sebagai pengendali sosial. Keempat, sastra lisan sebagai alat pendidikan anak. Kelima, sastra lisan sebagai suatu jalan yang dibenarkan oleh masyarakat agar dia dapat lebih superior daripada orang lain. Keenam, sastra lisan berfungsi untuk memberikan cara atau jalan bagi seseorang untuk dapat mencela orang lain. Ketujuh, sastra lisan sebagai alat untuk memprotes ketidakadilan dalam masyarakat. Kedelapan, sastra lisan adalah untuk melarikan diri dari himpitan hidup sehari-hari atau untuk hiburan semata.

Pembahasan makalah ini penulis fokuskan pada fungsi pendidikan dan fungsi hiburan cerita rakyat Pak Aloi Berladang sastra lisan Melayu Kapuas Hulu.

C. Fungsi Sastra Lisan sebagai Alat Pendidikan Anak

Pendidikan pada dasarnya sebagai usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat di masa yang akan datang (Mudyaharjo,2001:11)

Tuntutan untuk memberikan pendidikan sepanjang hayat bagi anak tidak hanya terbatas pada pendidikan formal, tetapi dapat dilakukan keluarga melalui berbagai cara termasuk dengan menceritakan berbagai cerita rakyat yang memiliki nilai-nilai pendidikan kepada anak. Dalam hal ini, cerita rakyat melayu Kabupaten Kapuas Hulu yakni cerita Pak aloi Berladang dapat dijadikan orang tua sebagai contoh untuk menanamkan pada pribadi anak mana hal yang baik untuk dilakukan atau tidak dan pemberian pengalaman kepada anak-anak dalam kehidupan sehari hari.

Adapun bentuk pendidikan pengalaman yang terkandung dalam cerita Pak aloi Berladang adalah sebagai berikut:

1. Bahwa Binatang itu Tidak Bisa Berbicara dan Mengerti Maksud Manusia.

Pada cerita Pak Aloi Berladang dia berbicara menyuruh kepiting pulang ke rumah seolah-olah menurutnya kepiting mengerti apa yang ia perintahkan. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

Kata Bu Saloi ”itu kan binatang, bukan seperti manusia bisa pulang sendiri ke rumah”

2. Jangan cepat mengambil keputusan, sebelum mengetahui apa yang dihadapi

Dalam cerita Pak aloi Berladang Pak Aloi terlalu cepat mengambil keputusan terhadap hal yang dihadapinya, padahal ia belum tahu pasti apa yang sedang dihadapi. Misalnya memetik sarang muanyik (lebah) dan menikam (melempar) dengan tombak bapak mertuanya yang sedang menebas (memotong rumput).

Pendek kisah pada hari berikutnya ia bertemu dengan muanyik rampuk bergantung di ujung dahan kayu, tidak terlalu tinggi. Begitu dilihatnya.” Aduh-aduh, sudah bergatung pula kau ini, kulat basi yang ini lain lagi, hitam, kemarin putih, ini hitam pula. Kata istriku kalau bertemu dipetik.” ia pun mulai memetik. Begitu dipetiknya, muanyik ramppuk itu pun menyengat.” aduh-aduh, ada kuman. Semacam pula kulat basi ini, ada kuman.” petik satu begitu, petik dua begitu, diambilnya kayu lalu dipukulnya. Apa yang terjadi kemudian, muanyik rampuk itu pun menyengatnya. Ia menangis sambil berteriak. Ia pulang ke rumah sambil menangis.

Kutipan berikut mengajarkan agar manusia melakukan pengkajian dan mendalamai suatu permasalahan terlebih dahulu sebelum memutuskan sebuat tindakan.

Ia pun menyiapkan kujor, dan juga parang. Urusan ladang sudah tak dihiraukan lagi. Dia pergi ke ladang, tapi yang dilakukannya adalah mencari rusa yang sedang berbaring seperti kemarin. Di lihatnya ladang sebelah tak ditemukannya rusa. Di lihatnya di ladang sebelah lagi, ke ladang mertuanya. Di situ ia bertemu dengan mertuanya yang sedang menebas rumput. ”aduh!” katanya, ” rusa itu kok bisa menebas rumput?” mertua dikatakannya rusa. Mertuanya pun terheran-heran mendengar ada orang yang bercakap-cakap sendiri di belakangnya, kedengarannya seperti suara Pak Aloi. Pak Aloi itu sebenarnya sedang menunggu rusa itu berbaring. ”Aneh benar rusa ini bisa menebas rumput.”

”Eh, Pak Aloi apa yang kau kerjakan di situ?”

”Eh, dia menegur saya. Mengapa rusa ini bisa mengenal saya?”

”Hei, aku ini kan mertuamu!”

”Heh, masak mertua saya rusa. Nanti kau rasa, disuruh berbaring tak mau berbaring. Pesan istri saya kalau rusanya tak mau berbaring ditikam saja.” Mertuanya ditikam dengan kujor, lalu kena kakinya. Orang tua itu pun lari ke rumah sambil menahan sakit. Untung saja Pak Aloi tak sempat menebasnya dengan parang, kalau sempat tentu mertuanya sudah mati.

  1. Sabar dan Bijaksana

Dalam cerita Pak aloi Berladang, tercermin sikap Bu Aloi yang begitu sabar dan bijaksana dalam menghadapi prilaku dari Pak Aloi yang lugu dan sedikit ceroboh. Kesabaran dari Bu Aloi inilah yang membuat kehidupan rumah tangga mereka selalu rukun, meskipun banyak sekali pekerjaan Pak Aloi yang tidak benar terutama pada saat mereka membuka ladang.

Berikut ini kutipan tentang kesabaran dari Bu Aloi yang sabar mengadapi Pak Aloi yang selalu tidak beres mengerjakan pekerjaan.

”Mana ladang kita yang katanya sudah ditebas?”

”Sudahkan!” kata Pak Aloi.

”Sudah, apanya?”

”Waktu aku duduk di langkau, akukan sudah memberitahu, tebas lurus kesana, tebas lurus kesini, setelah itu lalu dibuat seperti pulau. Selesailah, tak ada yang akan ditebas lagi!”

Istrinya pun menggaruk kepala yang tidak gatal. ”Aduh” kata istrinya, tak pernah aku menemukan manusia yang terlalu pintar seperti kamu ini, bukan lagi bodoh, benar-benar sudah terlau pintar.”

  1. Kepatuhan dan Kesetiaan

Dalam cerita Pak Aloi Berladang juga sering digunakan orang tua sebagai media untuk menasehati anak perempuannya agar patuh dan taat kepada suaminya kelak. Bagaimanapun situasi suaminya, sedungu dan seceroboh ataupun kekurangan lainnya sebagai seorang istri haruslah patuh dan setia kepada suaminya. Kepatuhan dan kesetiaan seorang istri kepada suaminya terungkap dalam cerita Pak Aloi Berladang . Berikut ini kutipan yang menceritakan kepatuhan dan kesetiaan Mak Aloi kepada suaminya.

” O, benar juga,”kata Mak Aloi. Mak Aloi pun ikut juga membantu bekerja. Cepat juga ia bekerja, parangnya benar-benar tajam. Lalu ditancapnya tiang-tiang untuk menyangga atapnya. Kemudian dirapikannya lantai langkau itu. Diambil daun asam patah untuk atapnya. ” ah, bagus langkau ini.” langkau yang dipujinya dahulu, sebelum ia memikirkan ladangnya. ”Alhasil pulanglah kita berdua,. Kali ini kita hanya melihat tanah lalu membuat langkau-langkau.

Hari berikutnya tak perlu Mak Aloi mengikuti aku, tetap saja di rumah, beres!” katanya, ” Mak Aloi buatkan bekal yang baik-baik, nyaman

nyaman, banyak-banyak, karena maklumlah bila bekerja biasanya kuat makan.”

”Ya! Kata istrinya, ” tak masalah, asalkan ladang kita jadi.” ”Eh, jangan tanya jadi-tidak, pendeknya beres!” Istrinya menuruti saja perintah suaminya.

C. Fungsi Sastra Lisan sebagai Hiburan

Sastra lisan sebagai suatu ekspresi kesusasteraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan, pada dasarnya juga digunakan sebagai hiburan untuk mengisi waktu senggang. Biasanya kebiaasan masyarakat Melayu Kabupaten Kapuas Hulu pada saat sela-sela waktu jeda istirahat berladang, diisi mereka dengan bercerita tentang cerita-cerita rakyat.

Cerita Pak Aloi Berladang sering diceritakan oleh orang tua kepada anak-anaknya memberikan nuansa kehangantan sehingga waktu senggang terasa lebih mengasyikan untuk melepas lelah.

D. Penutup

Tokoh Pak Aloi dalam cerita rakyat Pak Aloi Berladang jangan ditafsirkan semata bahwa Pak Aloi adalah seorang yang bodoh dan lugu. Sesunguhnya di dalam cerita Pak Aloi Berladang tersebut terdapat nilai-nilai yang sangat berarti untuk menjadi pelajaran bagi kehidupan kita sehari-hari..

Fungsi-fungsi sastra lisan (cerita rakyat) yang terkandung pada cerita Pak Aloi Berladang sebagai alat pendidik anak dapat dilakukan oleh orang tua dengan memberikan muatan nilai-nilai moral untuk bekal hidup bagi seorang anak. Pemberian pemahaman kepada anak penting dilakukan dengan menjelaskan bahwa binatang itu tidak bisa berbicara seperti halnya manusia, jangan terlalu cepat mengambil keputusan, sabar dan bijaksana dalam menghadapi permasalahan, serta patuh dan setia terhadap suami.

Selain itu, fungsi sastra lisan yang terkandung dalam cerita Pak Aloi Berladang sebagai hiburan tercermin dari banyaknya kejadian-kejadian lucu dalam cerita tersebut. Menyimak cerita tersebut atau membacanya tentu akan memberikan suasana yang menyenangkan dan menggelikan karena banyaknya kejadian-kejadian yang tidak masuk akal, bahkan konyol.

lampiran

Pak Aloi Berladang[1]

Jadi, pada awal tahun orang-orang sudah bersiap-siap akan berladang. Rupanya Pak Aloi tak mau ketinggalan. Pak Aloi pun memangil Mak Aloi,” O, Mak Aloi kita berladang seperti orang lain”. ” Aku sih tidak keberatan, kalau Pak Aloi mampu, mampu menebas, aku setuju, ” kata istrinya.

”He...he... kalau menebas serah aja kepada Pak Aloi, beres. Parang aku kan baru ditempa, tajam, pendeknya sekali tebas pasti banyak rumput putus.”

”Iya, baiklah,” kata Mak Aloi.

Ia pun mulai berangan-angan waktu itu, ” kalau kita berladang, kita dapat padi, padi dimakan, ada juga yang disimpan ada juga yang dijual.” Banyak benar harapan Pak Aloi dengan padi hasilnya berladang nanti.” Bukan padi saja yang ditanam Mak Aloi, banyak tanaman lain yang bisa ditanam.

”Apa saja?” kata istrinya.

”Eh, segala jagung, segala sayur-sayuran ditanam semua.” Dengan gerakan jari-kakinya Pak Aloi bercerita pada isteriya.

” Ya, syukurlah,”Kata Mak Aloi, ”sudahlah jangan banyak cerita, alhasil bersiap-siaplah.

”Eh, besok kita melihat tanah, kamu mesti ikut Mak Aloi menyaksikan tanah mana yang subur, mana yang baik.” Jadi, orang-orang yang akan berladang itu memilih lahan tempat berladang itu dalam suatu denai, mertua Mak Pak Aloi, Bapak dari Mak Aloi, ada dalam denai itu.

Jadi, pada hari berikutnya mereka berdua pun turun ke tanah yang dijadikan ladang. Pak Aloi turun dengan membawa parang, sedangkan istrinya ada di belakangnya. ” Cepat sedikit jalannya, nanti orang sudah selesai menebas, kita belum.”

” Ah, ini terserah Mak Aloi menentukan mana tanah yang baik, aku tinggal menuruti saja.” Katanya. Dicari-cari tanah tadi, dapatlah tanah yang berjarak tiga perinduk dari mertuanya.

”Disinilah ! ” Kata Mak Aloi” bagus tanah ini.”

” Bagus, deh, ” kata Pak Aloi, ” aku tak tahu cara mantau tanah, baik atau jelek terserah saja, tetapi kalau soal kerja, beres.”

Alhasil, sesudah memeriksa tanah, mereka berdua meletakkan batu.

”Anu, Mak Aloi kita menebas sedikit.

”Untuk apa?” kata Mak Aloi.

”Tak lama menebasnya, parangku inikan tajam, jangan khawatir.”

”Untuk apa?”

”Untuk membuat langkau-langkau kecil. Susah nanti aku kerja kalau tidak ada tempat untuk istirahat. Jadi, kalau tidak menebas, aku nanti duduk-duduk di langkau itu.”

”O, benar juga,” kata Mak Aloi. Mak Aloi pun ikut membantu bekerja. Cepat juga ia bekerja, parangnya benar-benar tajam.”lalu ditancapnya tiang-tiang untuk menyanggah atapnya, kemudian dirapikannya lantai langkau itu. Diambil daun asam patah untuk atapnya.”Ah, bagus langkau ini. ” Langkau yang dipujinya dahulu, sebelum ia memikirkan ladangnya.” Alhasil pulang kita berdua. Kali ini kita hanya melihat tanah lalu membuat langkau-langkau. Hari berikutnya Mak Aloi tak perlu mengikuti aku, tetap saja di rumah, beres!kata Pak Aloi. Lagak Pak Aloi ini memang bukan main. ” Cuma aku minta, ” katanya, Mak Aloi buatkan bekal yang baik-baik, nyaman-nyaman, banyak-banyak, karena maklumlah bila bekerja biasanya kuat makan.”

”Ya!” Kata istrinya, ” tidak masalah, asalkan ladang kita jadi.”

”Eh, jangan tanya jadi-tidak pendeknya beres!” istrinya menuruti saja perintah suaminya.

Hari berikutnya ia pun mulai menyiapkan bekal. Alat-alat untuk menebas sudah diasah baik-baik, sudah siap untuk bekerja. Ia pun berangkat ke ladang. ”kalau aku datang ke ladang nanti, menebas, tipas kiri tipas kanan, lawas. Mumpung parang ini tajam. ” Sampai ke lagkau ia pun meletakkan tegken dan bekal yang dibawanya disitu. Tanpa menunggu waktu lagi, ditariknya parang dan ia pun mulai menebas. Parangnya benar-banar tajam.” Kau jangan keras rumput, lemah-lemah, kalau kau lemah aku pelan-pelan juga memantapnya,” Pak aloi berbicara pada rumput seperti berbicara pada manusia,” kalau kau keras kucincang Kau nanti!” tebas kiri, tebas kanan.

Baru kira dua depa hasil tebasannya, begitu ia berbalik ke belakang, lalu dilihatnya kepiting. Kepiting itu besar sekali. ” benda apa yang mundur maju, mundur maju itu? Bukankah itu yang disebut orang kepiting? Boleh tidak kau dimakan?” ditanyainya kepiting itu, dan tentu saja kepiting itu tidak bisa menjawab. ”Ah, ditangkap sajalah nanti dibawa ke tempat Mak Aloi. Nanti ditanya kepada Mak Aloi boleh tidak kepiting ini dimakan.” ”Alhasil kau tunggu disitu, aku lagi mengambil tali untuk mengikat kau.” Ia bercakap-cakap dengan kepiting. Ia pun mencoba untuk menangkap kepiting itu. Begitu akan ditangkap kepiting itu mundur.”Eh, bisa mundur.” Ditimpanya dari sebelah lalu ia pun mencoba menangkap kembali kepiting itu.” nanti kau kupukul, jangan macam-macam. Tak kau lihat banyaknya kayu disini? Eh, tak sampai hati aku,” kata Pak Aloi. Akhirnya kepiting itu bisa ditangkapnya. ” ah, apa macam?” katanya. Sambil berbicara, kepiting itu pun menjepit jarinya.” aduh..duh..duh.. jangan membalas. Kau lalu mau macam-macam pula!. Dengan susah Pak Aloi berhasil melepaskan tangannya yang dijepit oleh kepiting. Hampir saja ia menangis menahan sakitnya. Jepitan kepiting itu pun dibuangnya.

Lalu, kepiting itu diikatnya. Ia pun termenung.” bagaimana ini, aku sekarang lagi menebas. Kalau aku pulang berarti aku tak dapat menebas lagi. Aku lihat-lihat kepiting ini bisa berjalan. Ah, begini saja ia kusuruh pulang sendiri, tetapi nanti dulu, aku akan mencari bahan ramuan untuk memasak kepiting. .Ia pun lalu mencari daun kandis, serai dan daun bungkang. Kau yang akan menggendongnya nanti.” kepiting itu pun diikatnya di pohon kayu. Ia pun mencari bahan ramuan yang dibutuhkan. Setelah bahan ramuan itu didapat, lalu diikat di pungung kepiting. ” Aa, beritahu dengan Mak Aloi, aku belum sempat pulang. Kau pulangalah dulu. Beritahu Mak Aloi suruh masak enak-enak. Pulanglah kau! ” katanya sambil mendorong kepiting itu. Kepiting itu pun didorongnya mundur-maju, mundur-maju. Banyak sekali waktunya yang tersita untuk mengurusi kepiting itu. Begitu kepiting itu tidak kelihatan lagi, ” selamat jalan!” katanya, ” beritahu dengan Mak Aloi suruh masak yang enak-enak. ” Ia pun duduk di langkau sambil ia berangan-angan tentang ladangnya, ia juga berangan-angan akan makan kepiting.

”Ah, makan dulu lah, ”katanya. Ia pun membuka bekal, lalu disikatnya sampai habis. Kalau perut sudah kenyang tentu kita akan duduk dulu. Setelah selesai makan ia merokok, kemudian ia melihat ke ladangnya. Dia mau turun lagi sudah berat. Ia pun mengira-ngira dari langkau,” kalau tebasan ini diteruskan kesana, terus kesini, pokoknya habislah. Pendeknya, tak lama selesai, dua-tiga kali mengayunkan parang pasti datang kesana. Oh, jangan ditembus dulu tebasanku ini, biar orang terkejut melihat ladangku ini. Dibuatnya gupong-gupong, tembus kesana sedikit, tembus kesini sedikit, tembus kesitu sedikit. Jadi, kalau orang melihat hasil tebasan aku biar orang terkekut. ”Eh, sudah besar juga tebasan Pak Aloi.” ” Aa, aku ada akal baru sekarang, ” katanya. Begitu ia selesai berkhayal, ia pun tertidur. Alhasil, sudah tidak ingat lagi dengan dunia. Tebasannya tak ada, makanan pun sudah habis. Ia pun terkejut, lalu teringat dengan kepiting itu tadi.” Ah, tak dapat lagi aku menebas, aku akan pulang dulu.” Ia memikirkan kepiting, takut basi. Di kemasnya barang-barangnya, kemudian ia pun pulang. Sambil bernyani-nyanyi ia pulang kerumah.

”O, Aloi coba kau lihat bapakmu pulang. Biasanya ia tak pernah pulang sambil menyanyi-nyanyi seperti itu. Apa yang membuat ia begitu senang.”

”He..he,” Katanya, ” baru terasa enak sekarang, licin benar rasa tenggorokkanku ini.”

Istrrinya pun aneh, benda apa yang licin, benda apa yang nyaman? Dari tanah suaminya sudah terkakah-kikih tertawa. ” Naiklah!” kata istrinya, ” Ada apa ini?”

”Eh, macam tak tahu saja, aku kan sudah memberitahu.”

”Apa yang kau beritahu itu?” kata istrinya.

”Begini,” katanya, ” Aku tadi menemukan kepiting yang sangat besar. Kepiting itu sudah kucarikan segala bahan ramuan seperti daun bungakang, daun kandis, dan serai. Kusuruh datang kesini, ke tempat kalian berdua Aloi. Kusuruh untuk dimasak enak-enak.”

”Aduh!” kata istrinya, ” Kepiting?”

”Ya kepiting.”

”Itukan bintang bukan seperti manusia, bisa pulang sendiri kerumah, ” kata istrinya, ” bodoh benar Kau ini!”

”Ih, bodoh bagaiman ? Ia kan bisa berjalan.”

”Ya, tahulah ia berjalan, mana bisa ia pulang kerumah, pasti ia sudah berlari.”

”Jadi bagimana ceritanya?”

”Kalau kita menemukan kepiting, ”kata istrinya, ”dipukul, kalau sudah mati dimasukkan ke keranjang dan dibawa pulang ke rumah. Serahkan dengan istri untuk dimasak. Baru ya.”

”Apa lauk kita sekarang?”

” kuah air disitu.”

” Aduh..aduh, salah aku, deh,” sambil menggaruk kepala. ” Eh, besok gampang masih ada kepiting disitu lagi.” dilihatnya lauk dirumah cuma garam dan air.

” Apa rasanya” kata istrinya.”enak?”

” Aduh salah aku. Apa kata kau tadi kalau bertemu dengan kepiting dipukul?”

” Dipukul, kalau sudah mati, baru dimasukkan didalam keranjang.”

Alhasil, setelah selesai makan ia pun mengambil kayu diatas para untuk bekal ke ladang, untuk memukul kepiting.

” Apa kerja kau ini?” kata istrinya.

” Eh mengambil kayu untuk memukul kepiting.”

” Kayu itu akan kita pakai untuk memukul kepiting.”

” Kayu itu akan kita pakai untuk merapi, kayu di ladangkankan banyak.”

” Eh, lupa.”

” Diladang banyak kayu, berapa banyak pun ada.”

” O, benar ya, lupa aku.”

Diapun tak jadi mengambil kayu dipasar. Buru-buru ia berangkat.” kalau bertemu kepiting pokoknya hancur Kau. Jadi, kata istriku, Mak aloi, bila bertemu dengan kepiting dipukul, kalau sudah mati masukkan kedalam keranjang.”

Sampai diladang ia pun meletakkan bekal, tak lama setelah itu ia berangkat lagi menebas. Lalau bertemu dengan dukong kulat basi. ”eh, benda apa ini? Kamarin kau berjalan mundur-maju sekarang di atas dukong, lain benar kepiting yang ini. Ingat aku pesan dengan istriku bila bertemu dengan kepiting harus dipukul.” Ia pun mengambil kau. Dipukulnya kulat basi itu sampai hacur-lebur. Setelah mati ia meraup, memasukkan kulat basi itu kedalam keranjang. Ia pun pulang.

”O, Mak Aloi,” katanya.

”Ya!”

” Ada disitu kepiting sudah hancur lebur. Kau juga yang menyuruhku memukulnya.”

“ Mana?” kata Mak Aloi.

“ dalam kerajang, lihat sendirilah di situ.”

Istrinya geleng-geleng kepala ketika melihat isi keranjang.” sampailah kau ini pak Aloi, mengapa bodohnya tak dibagi-bagi dengan orang lain?”

” bodoh apa pula, kan aku mengikuti pesanmu. Kata kau kemarin bila bertemu dengan kepiting, dipukul. Itulah kepiting yang sudah dipukul, masakkanlah!”

” bagaimana bisa di makan sudah bercampur dengan tanah seperti ini. Kalau kita dapat kulat basi dipetik pelan-pelan, jangan dipukul. Dia itu tak bisa berjalan!”

” O, begitu ya? Kalau menemukan kulat basi, dipetik!”

” dipetiklah, ”kata istrinya,” jangan dipukul!”

Disitulah letak lucunya Pak Aloi, apa saja kata orang, ya. Tak pernah bisa berfikir sendiri.

Habis cerita kepiting timbul cerita kulat basi. Habis kulat basi timbul semacam lagi. ”Besok, mencari kulat basi saja.” apa yang ditemukan hari ini, itulah yag dicari besok. Tak mungkin bertemu dengan ssuau yang sama terus. Ia pun berangkat lagi keladang. Alhasil tebasan ladagnya tak diurusnya lagi, gupong disana-disini.

Pendek kisah pada hari berikutnya ia bertemu dengan muanyik rampuk bergantung di ujung dahan kayu, tidak terlalu tinggi. Begitu dilihatnya.” Aduh-aduh, sudah bergatung pula kau ini, kulat basi yang ini lain lagi, hitam, kemarin putih, ini hitam pula. Kata istriku kalau bertemu dipetik.” ia pun mulai memetik. Begitu dipetiknya muanyik rampuk itu pun menyengat.” Aduh-aduh, ada kuman. Semacam pula kulat basi ini, ada kuman.” petik satu begitu, petik dua begitu, diambilnya kayu lalu dipukulnya. Apa yang terjadi kemudian, muanyik rampuk itu pun menyengatnya. Ia menangis sambil berteriak. Ia pulang kerumah sambil menangis.

” Mangapa pula?” kata Mak Aloi

” Kau mau menyuruh aku mati. Kau katakan kalau bertemu dengan kulat basi harus dipetik. Kulat basi ini ternyata ada kuman,”

”Bagaimana ceritanya?”

Wajah Pak Aloi sudah bengkak-bengkak karena digigit muanyik rampuk. Tentulah lain lagi ceritanya ini. ”coba ceritakan!” kata istrinya.

”Aku menemukan ia bergantung, hitam, tak lagi di tanah tetapi di atas. Mungkin dia marah karena kupukul kemarin. Kupetik sstu, menyengat, kupetik dua juga menyengat, setelah itu kupukul, ”katanya,” inilah yang membuat aku seperti ini."

”O....., ”kata istrinya,”itulah yang disebut orang muanyik rampu . Tak boleh dipetik, ia mengigit.”

”Bagaimana caranya?”

”Kalau kita bertemu dengan muanyik rampuk, dipuar, diambil lilinny, ambil madunya.” Kata istrinya.”

”O.... begitu.”

”Begitulah, tak boleh dipukul. Kita muar muanyik rampuk itu dengan cara diasap dengan api dahulu, muanyik rampuknya lari baru kita mengambil sarangnya. Yang ada dalam sarangnya itu lilin dan madu.”

”Eh gampang, ” katanya denan wajah bengkak-bengkak. Alhasil, belum adalah cerita tentang ladngnya, lagi cerita tantang hal-hal yang ditemukannya setiap hari.

Hari berikutnya ia bertemu denga rusa tidur. ”Aduh,” katanya, ”lau sudah berekor, bertelinga dan berbaring ditanah. Kemarin kau bergantung. Mengapa pula Kau tidak bergantung?” dilihat-lihatnya, ”O... di ekor inilah tempat mengikat terenong,” katanya. Jadi, terenong itu pun diikat di ekornya, ” kayaknya itu tempat penegeluaran madu nanti.” Diikatnya terenong di situ. Setelah dikatnya terenong, dihidupkannya tebaok, lalu disulutnya di pantat rusa. Rusa itu merasa kepanasan, lalu lari. Rusa itu melompat, tekaeng-keng, terberak-berak, terkencing-kencing, masuk semua kedalam terenong itu. ” Tunggu-tunggu!” katanya, ”jangan lari!” karena rusa itu lari sangt kenccang, tali pengikat terenong pun putus dan terjatuh. ” A... jadilah dapat air madu dan lilinnya.” Di bawanya pulang. ”Heh jelek sekali baunya, memang madu ini tak baagus baunya, barangkali belumdimasak?” katanya. Ia mengomel terus sepanjang jalan. Sesampainya di rumah, lalu ia kabarkan kepada istrinya.

”Ya Allah, yang kau temukan itu bukan muanyik rampuk.

”Apa namanya?”

”Itulah yang disebut orang rusa. Tahu, kan? Bertelinga, kan?”

”Bertelinga, deh!”

”Berekor , tidak?”

”Berekor, deh.”

”Ada tidak tanduknya?”

”Ada!”

” Nah, itulah namanya rusa.”

”Kalau kita bertemu dengan rusa, bagaimana?”

”Kalau bertemu denga rusa, disembelih, kalau ia melawan ditikam.”

”Begitu ya. Macam-macam bend yang ditemukan. Hari ini lain, besok lain, lusa lagi lain.”

Ia pun menyiapakan kujor, dan juga parang. Urusan ladang sudah tak dihiraukan lagi. Dia pergi ke ladang, tapi yang dilakukannya adalah mencari rusa yang sedang berbaring seperti kemarin. Di lihatnya ladang sebelah tak ditemukannya rusa. Di lihatnya di ladang sebelah lagi, ke ladang mertuanya. Di ditu ia bertemu dengan mertuanya yang sedang menebas rumput. ”aduh!” katanya, ” rusa itu kok bisa menebas rumput?” mertua dikatakannya rusa. Mertuanya pun terheran-heran mendengar ada orang yang bercakap-cakap sendiri di belakangnya, kedengarannya seperti suara Pak Aloi. Pak Aloi itu sebenarnya sedang menunggu rusa itu berbaring. ”Aneh benar rusa ini bisa menebas rumput.”

”Eh, Pak Aloi apa yang kau kerjakan di situ?”

”Eh, dia menegur saya. Mengapa rusa ini bisa mengenal saya?”

”Hei, aku ini kan mertuamu!”

”Heh, masak mertua saya rusa. Nanti kau rasa, disuruh berbaring tak mau berbaring. Pesan istri saya kalau rusanya tak mau berbaring ditikam saja.” Mertuanya ditikam dengn kujor, lalu kena kakinya. Orang tua itu pun lari ke rumah sambil menahan sakit. Untung saja Pak Aloi tak sempat menebasnya dengan parang, kalau sempat tentu mertuanya sudah mati.

Istri Pak Aloi dan anaknya datang ke rumah bapaknya untuk menolong bapaknya yang sedang kesakitan karena ditikam Pak Aloi denga kujor. Berlinang air mata Mak Aloi menyaksikan bapaknya kesakitan, ”Sampai hati bapakmu Loi, menikam kakekmu. ”Orang tua itu merintih karena menahan rasa sakit akibat kea tikaman kujor. Pada saat mereka sedang menolong orang tua itu, Pak Aloi pulang kerumah.

” Ke mana perginya Mak Aloi dan si Aloi? Berani benar meninggalkan rumah.” pada saat ia mengomel, Mak Aloi pun pulang. Begitu pulang ia pun memarahi suaminya.

”Apa yang kau lakukan?”

”Melakukan apa? Akukan menebas rumput.”

”Kami sibuk menolong bapakku yang kau tikam denga kujor.

”Mana mungkin aku menikam bapak, kalau kau tahu tidak akan menikamya. Memangnya aku tak sayang pada oranng tua.”

”Kaulah yang menikam bapak, untung saja ia sempat lari.”

”Bukan, Rusa yang aku tikam, seperti yang kau katakan kemarin.”

”Tidak!” kata istrinya, ” lihatlah, inikan bapak!”

”Aduh Bapak ya. Aku salah lihat. Sakit pak?”

”Sakitlah!,” kata istrinya, pertanyaan bodoh!”

” Kalau kita bertenu denga mertua. Bukan begitu caranya, kita hormati, diakan orang tuaku.”

”Begitu ya!” kata Pak Aloi.

”Kalau kita bertemu dengan mertua, kita suruh duduk, sodorkan rokok, sodorkan sirih-pinang, jangan ditikam atau ditinju!”

”Kemarin aku kira rusa, tak akan begitu lagilah kalau aku bertemu dengan bapak.”

Hari berikutnya ia pun mencari mertuanya. Di carinya kemana-mana, tetapi ia tidak juga menemukan mertuanya, karena kaki mertuanya lagi sakit akibat peristiwa kemarin. Tiba-tiba ia bertemu dengan beruang yang sedang menyantap madu.

”Aaaaakhhh....” beruang mengaum.

”O...pak, apa yang sedang kau kerjakan?”

”Aaaaaakh....”

”Aku ada membawa rokok, istirahatlah dulu!”

”Beruang itu belum memperdulikan Pak Aloi, karena sedang menyantap madu kelulot.

”Aduh pak, ada aku bawakan sirih untukmu, jangan takut takkan aku menikammu lagi.”

”Aaaaakkhh....” Beruang kembali mengaum.

Setelah beruang itu selesai menyantap madu, beruang pun menerkam Pak Aloi. Mereka berdua pun berkelahi. ”Aduh...aduh...aduh...Pak, jangan kuat-kuat, kau membalas, ya?” Hampir saja Pak Aloi mati diterkam oleh beruang. Ia pun lari. Beruang itu sempat mencakar kepala Pak Aloi. Kulit kepalanya terkelupas. Ia pun pulang kerumah sambil menangis.

”Loi, coba kau lihat mengapa bapakmu menangis,” kata ibunya.

”Entahlah” Aloi pun menyambut bapaknya di depan pintu.

”Eh, bapak memakai kopiah merah.”

”kopiah merah? Kakekmu yang mencakar kepalaku ini, aku ingin memberinya rokok, malah kepalaku yang dicakarnya.”

Alhasil, sudah beberapa macam hal yang dijumpainya. Setelah penyakitnya sembuh, “bagaimana?” kata istirnya, “ sudah selesai belum ladang kita ditebas?”

“sudah, sudah siap”

“Orang-orang sudah bermufakat untuk membakar ladang yang sudah ditebas.”

” Ya, kita bakarlah.”

”Aku nanti akan mencari kulit kayu untuk membakarnya.”

Pada saat orang pergi ke ladang, mereka juga pergi. Apa yang dibakar, lahan yang sudah ditebas ternyata sedikit.” Waktunya hanya dihabiskan untuk meladeni kepiting, kulat basi, muanyik rampuk, rusa, beruang dan juga mertuanya.

”Mana ladang kita yang katanya sudah ditebas?”

”Sudahkan!” kata Pak Aloi.

”Sudah, apanya?”

”Waktu aku duduk di langkau, akukan sudah memberitahu, tebas lurus kesana, tebas lurus kesini, setelah itu lalu dibuat seperti pulau. Selesailah, tak ada yang akan ditebas lagi!”

Istrinya pun menggaruk kepala yang tidak gatal. ”Aduh” kata istrinya, tak pernah aku menemukan manusia yang terlalu pintar seperti kamu ini, bukan lagi bodoh, benar-benar sudah terlau pintar.” Begitulah cerita Pak Aloi Berladang.



[*] Cerita ini dikutip dari Kumpulan Cerita Rakyat Melayu Kapuas Hulu yang dikumpulkan oleh AR Muzammil.